Semenjak tarawih pertama usai, entah detik mana-mana sudah rentet doa kunafaskan untukku, untuk ibu bapak pulaserta yang kukata saudara. Sedang namamu kusebut paling ujung. Pun hingga kuganti baju koko santun dengan kaos berandalku, namamu menjadi dengung. Tak henti di relungku ia menggaung.

Semenjak butir kurma menjadi penanda, lelangit yang kuintip dari jendela tak lagi menjanda. Masih saja aku membayang siluetmu yang tadi memantul, dalam genangan sayur di mangkuk sahur. Maka telah kuseruput rindu yang sudah hendak mendingin, dan sisa-sisa rindu telah terbawa bersama air kumur-kumur yang sekeruh bolamataku.

Semenjak azan subuh masjid menjeda gema ayat-ayat dan tajwid, kelopak mataku terlalu berat membuka. Sebab kau bergelantung di bulumataku. Benang-benang selimut seolah menjadi konsonan yang menjerat, mengikat dan menayang gerak-gerikmu rapi pada mimpi. Hingga aku terbangun oleh celoteh sajadah yang mengata, untukku segera menyapa pahala.

Semenjak galau menjadi iblis yang membisik di telinga kanan-kiriku, mengheningmu sejenak selalu kupancang di ranah niatku agar segala tak sia-sia. Meski hening pula yang memunculkanmu lagi, pada deras air wudhu yang mengalun membagi nada dengan merdu sapamu yang kuhapal telah. Seketika selintas senyummu berkelabat, melipat-lipat ketidakpahamanku yang nanar.

Dan semenjak tak lagi kupaksa lenyapkanmu dari kepala, galau hanyalah abu ketakutanku menjurus hati. Maka tiada ada sanding antara aku yang mencintamu dan kita yang mencintaiNya. Segala cinta-cinta kita gandengkan malam-malam saja, usai berbuka dan kembali sapamu di layar selular yang seharian lalu menahan rindu. "Sudah kenyang, sayang?"