Aku dan beberapa rekanku lainnya baru saja tiba di perkampungan ini. Tidak terlalu kampung memang, letaknya tak sampai satu kilometer dari perbatasan dengan kota di sebelahnya. Bahkan penduduknya cukup bisa dibilang modern.

Aku meminta rekan kameramen merekam tiap sudut jalan, tiap apa yang kami lalui, kami lihat seraya melangkah ke tujuan kami sebenarnya. Sebuah pohon beringin ratusan tahun yang terkenal angker di kampung ini. Biasanya masyarakat akan memberikan nama terhadap hal-hal tak biasa, setidaknya mitos dan kesaksian sana-sini memberikannya sebuah sebutan, termasuk pohon beringin tersebut. Hanya saja kali ini benar-benar tidak ada. Jika penduduk ditanya, jawaban hanya sekedar “Pohon Beringin Angker”. Kupikir itu sudah cukup sebagai nama, kucatatkan itu di notes yang kupegang sedari tadi.

Kini kami berada sekitar 150 meter dari pohon beringin tersebut, memang sangat besar, rimbun pohonnya meneduhi beberapa rumah di sekitarnya, batang tuanya yang kokoh dan lebar hingga mungkin tak cukup jika hanya dipeluk beberapa orang dewasa, akar gantung yang menjuntai bak janggut pertapa sesekali menyirat mistis seperti yang diceritakan orang. Kami sendiri adalah kru dari stasiun televisi swasta, khususnya pada acara televisi yang menampilkan acara mistis. Uji nyali tepatnya, mencari penampakan di lokasi angker dengan menggunakan peserta yang ditinggal di lokasi dan diawasi dari jauh dengan kamera infra merah. Kami di sini untuk melakukan survei untuk lokasi uji nyali selanjutnya.

Seperti di daerah yang mulai (ingin segera) maju lainnya, di kampung ini kendaraan bermotor berlalu-lalang di antara kambing-kambing yang menyeberang jalan, anak-anak muda laki perempuan modis yang mengobrol asik di pondok-pondok bambu, dan perempuan dengan rok yang tak lagi nampak anggun. Maksudku seperti ketika menaiki sepeda motor, jarang sekali melakukan posisi duduk menyamping, kecuali rok mereka benar-benar panjang.

Pemandangan tersebut kulihat di jalan dekat tempat kami berdiri, seiring kameramen kami yang menyoroti pohon beringin tersebut. Entah alasanku berkomentar soal ini, entah aku terlalu sinis akan perubahan atau memang benar-benar kuno. Kupikir profesiku tidak akan buatku kuno atau tertinggal zaman. Dan sebenarnya juga tak masalah mereka seperti itu, apapun yang mereka kenakan tidak akan mempengaruhi ketertarikanku, sebab aku tak bernafsu pada perempuan.

Dibandingkan pohon beringin tersebut, mata dan hatiku lebih tertuju pada bangunan kosong di sebelahnya. Sebuah rumah cat putih yang tak lagi putih, ditumbuhi lumut, atapnya saja sudah hilang setengah, dinding yang penuh lubang serta ilalang tinggi yang tak sekedar memberi suasana seram jika malam, namun juga kenangan kelam, suram. Sebab aku kenal sekali tempat itu, traumatis, mengiang jeritan, dan air mata. Sebab ini rumah tinggalku dahulu, dan alasanku tidak bernafsu pada perempuan, tentu saja karena aku memang perempuan. Perempuan yang tak lagi perawan.

****
“Lin, jadi menurutmu peserta nanti melakukan uji nyali di sebelah mana?” tanya Guntur padaku.

“Kalau di bawah pohon beringin, mungkin di samping sini supaya tidak terlalu ke arah hutan. Juga di dalam rumah kosong di sebelahnya juga bisa. Sepakati saja nanti.” Ujarku sambil menunjuk beberapa tempat.

“Lalu para kru?”

“Nanti kita pasangkan tenda di dekat jalan sana, lebih luas untuk dipasang layar buat penduduk yang mau nonton juga.”

“Kamu benar-benar hapal daerah ini ya, haha..”

Aku tersenyum saja. Para kru yang berada denganku sekarang ini memang tahu aku sempat tinggal di daerah ini. Tapi tidak ada dari mereka yang tahu tentang rumah kosong di bawah pohon beringin yang dulu menjadi tempat tinggalku, bersama masa lalu yang sebenarnya sangat ingin kukosongkan dari kepalaku.

Aku melangkah ke arah rumah kosong tersebut, aku melangkah dengan sadar. Entah rasa penasaran atau kerinduan –entah terhadap apa– aku menyibak ilalang pelan-pelan, langkahku waspada sebab sisi ilalang memang tajam. Dan aku sudah melihat ruang depannya di pintu yang sudah tak ada pintunya lagi, hanya ada ilalang lagi. Dua orang teman kru mengikutiku, dan salah satunya membawa kamera. Dalam pikiran mereka tentu mengira aku ingin men-survei tempat ini pula, memang inilah pekerjaan kami.

Meski sudah separuh hancur oleh waktu, rusuk rumah ini masih sangat kuhapal, dan dalam kepalaku menyiluetkan keadaan di dalam ruangan ini dahulu. Ruang depan adalah ruang tamu, sofa merah bercorak bunga, lemari yang menyimpan piala penghargaan milik kakakku, dan foto-foto keluarga yang selalu menyunggingkan senyum melekat seperti cecak di dinding-dinding rumah. Sekarang tak ada sama sekali, hanya ruang kosong berdebu tebal, dinding yang berlubang, serta tikus eksotis yang sesekali lewat membuat mataku mulai menggenang.

Aku melanjutkan langkah pada ruangan selanjutnya, kali ini air mataku benar-benar turun menggantung di pipi. Ini kamarku dan kakak perempuanku dahulu, perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga sejak ayah meninggal lima tahun sebelumnya. Aku mengusap air mata agar rekanku tidak ada yang melihat dan bertanya, sebab aku tidak mau ditanya-tanya soal ini.

****

Aku ingat sekali malam itu, usiaku 9 tahun baru saja pulang dari rumah teman ibu. Pintu rumah terbuka, senyap, ruang tamu berantakan. Ibuku sontak masuk ke dalam dan terkejut melihat kakak tak berdaya, wajahnya lebam, rambutnya kusut terburai, pakaiannya telah dilucuti, tangan kakinya dipegang kuat oleh sepasang lelaki keparat. Ibu langsung menyuruhku berteriak memanggil penduduk kampung, aku berlari berurai air mata, tak percaya apa yang kulihat.

Terlambat, lelaki tersebut sudah pergi. Ibuku pingsan dengan darah di kepala, aku menangis, uang dan perhiasan ibu lenyap, terlebih saat tahu kakak juga lenyap bersama para lelaki itu. Penduduk membantu kami, membawa ibu ke rumah sakit, yang lain mencari kakak.

Bagaimana perasaan bocah sepertiku mendapat musibah seperti ini, mataku sembab semalaman menghabiskan air mata di depan ibu yang terbaring di tempat tidur rumah sakit. Pagi hari kakak ditemukan, tanpa nyawa. Ditemukan tepat di bawah pohon beringin di sebelah rumahku, bersama para penjahat yang juga tewas di sana. Menyisa misteri.

Aku beruntung memiliki ibu yang mampu menenangkanku tiap waktu. Aku sering bermimpi buruk sejak itu, ibu yang aku tahu perasaannya jauh lebih tersiksa sebagai orang tua yang kehilangan anak gadisnya yang langsung menghampiri dan mengelus rambutku yang tengah menangis. Aku memimpikan kejadian di depan mataku tersebut yang terproyeksi nyata dalam tidurku. Dan syukurlah kami kuat untuk melanjut hidup dalam semangat yang minus.
....

Sore sudah turun hendak mengencani senja, aku dan kru lainnya beranjak perlahan menyelesaikan tugas. Kami memang harus bekerja cepat, dan jika layak sekitar tiga hari kami akan melaksanakan uji nyali di sini, menyaksikan seorang yang coba menampak misteri yang buatku tak lebih mengerikan dibanding masa laluku di sana.

****

“Kembali lagi bersama saya dalam MISTIS, acara yang menampilkan kegiatan uji nyali untuk melihat hal gaib yang terjadi di lokasi penuh misteri. Kali ini kami berada di bawah sebuah pohon beringin yang disebut ‘Beringin Angker’ oleh penduduk sekitar. Konon, sebuah tragedi pernah terjadi di sekitar sini beserta penampakan-penampakan. Akankah di episode kali ini, mahkluk gaib tersebut muncul dan tertangkap kamera di sini?”

Narasi sudah keluar dari mulut host acara ini. Dan pada akhirnya lokasi ini dipilih, di bawah pohon beringin seseorang akan bolak-balik, diam, berputar-putar melakukan sesuatu untuk memancing gejala gaib di sana. Hanya satu hal yang tak kusetujui dalam hati, ketika kata “sebuah tragedi” diucapkan. Ya, bukan sekali, tapi berkali-kali untukku. Terlebih melihat peserta uji nyali kali ini. Muak!

Jono namanya, ia terpilih menjadi peserta uji nyali kali ini. Aku bingung bagaimana cara staf penyeleksi peserta memilih mahkluk satu ini. Dan untuk apa Jono ikut acara ini? Kupikir tak jauh dari ia yang kehabisan uang untuk mabuk, berjudi, dan melakukan hal bodoh lainnya.

Kebencianku padanya sangat beralasan, terlalu beralasan malah. Keluarga kami yang tinggal aku dan ibu sudah baik menjalani hidup, ia hadir sebagai perusak. Betapa tidak? Ialah menjadi contoh jahanamnya lelaku dari lelaki. Terjadi saat aku berusia 15 tahun. Ia mendobrak pintu rumah, dan masuk seenaknya. Ia masuk ke kamarku dan seolah mengulang tragedi lalu, ia menyerangku yang baru terbangun karena terkejut. Mulutnya bau alkohol, aku berontak, melawan, berteriak.

Kembali, kampung dikejutkan lagi oleh teriakan. Ibuku kembali terhempas saat ingin melepaskan aku dari tangan lelaki ini, dan aku mengerti mengapa perempuan wajib dilindungi. Sebab laki-laki terlalu kuat, perlawananku tak berarti, ia menamparku beberapa kali, tenagaku melemah. Ia mendorongku ke dinding, kepalaku terbentur, pandanganku gelap seketika.
....

Keadaanku menyedihkan, kepalaku berdarah, wajahku lebam seperti yang terjadi pada kakakku dahulu. Buruknya, telah ia renggut mahkotaku di pucuk nafsunya, lalu kabur. Kembali mentalku hancur, kupikir aku akan jadi gila. Bayangkan saja, secara sadar aku tak berhenti menggumam bahwa aku akan jadi gila. Jika kelenjar air mata bosan, ia biarkan aku menangis kering, tanpa air mata, tapi isak selalu penuhi ruangan tempatku berada. Di manapun itu.

Ibuku kembali membangkitku yang sangat jatuh, sabar sekali beliau menenangkanku meski beliau juga menderita. Aku kuat kembali, terlebih saat ibu mengajakku pindah ke rumah keluarganya di kota. Meski berat, ibuku menjual rumah tersebut. Walaupun memang tak ada yang ingin tertarik –ketakutan lebih tepat- membelinya, rumah peninggalan ayahku tersebut.

****

Dan sekarang Jono berada di tempat yang sama denganku, kemarahanku membuncah, meluap, terlebih saat ia tersenyum padaku saat kupandangi ia dengan tatapan sinis, penuh dendam. Ia mungkin tak lagi mengenaliku dengan segala kekurangajarannya yang laknat itu, sudah lama berlalu memang.

Tapi aku harus profesional, nanti saja kupikirkan amarahku. Usiaku 24 tahun dan dengan segala keterbatasan aku bisa kuliah dan mendapat pekerjaan seperti sekarang ini, aku tak mau merepotkan ibuku.
....

Uji nyali segera dimulai, Jono diberi bekal untuk konsumsinya hingga beberapa jam nanti. Sepintas aku berpikir andai aku yang menjadi staf konsumsi, akan kuracuni ia.

Jono diberi instruksi apa yang harus ia lakukan, para kru sudah meninggalkan kamera infra merahnya di sana-sini. Aku sendiri sejak awal hanya berdiri di depan monitor tempat para kru mengawasi peserta uji nyali.

- 00:00:13 WIB-
Uji nyali dimulai, tepat pukul 12 tengah malam. Jono duduk bersila sambil mengunyah snack dari kotak konsumsinya. Ia masih tenang.

-00:57:32 WIB-
Hampir satu jam sejak uji nyali dimulai. Jono mondar-mandir sambil sesekali memegang akar gantung pada beringin tersebut.

-01:09:21 WIB-
“Apa itu?” ujar salah satu kru dengan nada sedikit kencang. Hampir dari kami semua melihat, seperti asap putih sempat diam tak bergerak tepat di belakang Jono. Jono merasakan dan ketika lehernya menggeliat merinding, asap itu hilang cepat.

-01:58:55 WIB-
Kami merinding, akar gantung yang menjuntai lurus seperti huruf “I” itu mendadak bergerak. Bergerak seperti dilontar, bukan tertiup angin. Si bodoh Jono sok berani langsung bergaya kuda-kuda bak petinju lalu meninju-ninju akar gantung tersebut.

-02:07:33 WIB-
Kupikir bukan hanya aku yang berkeringat dingin seperti sekarang ini. Dua akar gantung yang berdekatan, tanpa ada apapun saling berkait ujungnya. Seperti membentuk huruf “U” dan berayun-ayun sendiri. Lalu diam, namun akar tetap terikat.

-02:27:59 WIB-
Jono menunjukkan kebodohannya, wajahku kian menunjukkan rasa benci, dalam hati seolah menyumpah-nyumpah melumat emosi. Jono dengan bodohnya duduk di akar yang ujungnya saling berkait tersebut. Mengayun-ayunkan dirinya. Seperti anak kecil yang bermain ayunan.

-02:39:42 WIB-
Bzztt..


Monitor kami rusak, kehilangan gambar dan mendadak seperti televisi tanpa saluran yang diacak titik-titik dan garis abu-abu. Nampak asap kecil naik ke udara dari lokasi Jono berada. Para kru saling pandang dan mulai resah. Aku tanpa basa-basi lari ke lokasi, mencari tahu apa yang terjadi.

****

Aku tiba, mataku membelalak. Seluruh kamera rusak, seperti dihantam batang kayu. Lampu-lampu yang dipasang di sekitar kamera juga hancur, kabel-kabel putus. Aku mencari Jono, mengandalkan cahaya dari lampu senter.

Aku menggeleng kepala. Jono masih di tempatnya, berayun di akar gantung. Andai aku tak kenal siapa peserta ini, mungkin tidak ada yang mengenali. Sebab yang berayun hanya tubuhnya, tubuh tanpa kepala. Darah menggantikan warna baju kaosnya yang semula biru menjadi sangat merah, bercipratan pula di akar-akar yang masih digenggam jari kaku Jono. Aku hendak berteriak, tapi tak bisa, suaraku tertahan. Deru langkah kru lain mulai terdengar.

Sorot senterku bergeser 60 derajat, di sanalah aku temukan kepala seorang Jono. Melayang, namun tak melayang sendiri. Wanita berkain putih panjang menentengnya, mengenaskan, mulut menganga dan mata melotot dengan nyawa yang hampa.

Aku menutup mulutku, aku melihat hantu, wajahnya mirip denganku. Dan itu kemiripan yang bisa nampak dari kesamaan gen. Aku tak percaya, lututku lemas, menghempaskan diri ke tanah, wanita tadi berbalik, entah melayang entah melangkah, melewati semak, masuk ke hutan, ditelan gelap, menenteng kepala, perlahan hilang.

Hilang.