Mimpi-Mimpi

Mimpi-mimpi itu menggelombang meringkuk di kepala
Tak jauh dari cambang yang melengkung dekat telinga
Lalu mimpi-mimpi itu hilang, tak sisa pun satu cela
Kucarilah
Di saku celana, lemari-lemari kayu, lipatan permadani
Pula di antara daundaun yang menggulung
Tak menyua tanda menampak hingga pada muara
Hanya tertemu sobekan-sobekan doa yang
Tiada pernah tersampai
Dari bilik mata yang telah basah oleh ludah

--
Malang, 29072010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Mimpi-Mimpi

Uchiha

jikalau memang bulan senantiasa menyirat
lesung kelam di balik nafas-nafas pekat
maka tiada ragu aku mengata kau
yang berdiri di reranting saga hati
ku dengan satu kaki

lalu kusontak kau seraya menyambit
rambut gemulai yang memagar keningmu
dari senyumku yang pula sabit, dari mataku
yang purnama, dari samurai yang kusarung di
langit mendung

tersebutlah, uchiha!
begitu rautmu menyelendang deru kau
dan aku yang mulai saling menatap, saling memutar
bola mata, saling tukar apa yang telah kita tiru
dari jewantah waktu

---
Malang 29072010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Uchiha

Sudah Lewat

: tengah malam
masih menitik gelinang kenang pada
gelisah yang angkuh terpanjang

tak aku, tak pula dedaunan
belum jua usai menghitung tetes hujan
pun pucuk jemari tergelayut bening
butir hujan, manja tanpa lelagu yang
mengabar hati
mengabar kata
menjabar katahati

melahir asa demi asa yang aku
pula dedaunan rajut menjadi selimut
menghangat dari beku rerindu akut
dan membuta
hingga pagi
hingga pagibuta

----
Malang, 28072010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Sudah Lewat

Tabung

ia pontang-panting lari
mengabar istri, anak, mertua
mengumpul tabung yang dipunya
tabung bak selebriti
buat gaduh koran sana-sini, berita televisi pula
artikel majalah dewasa

ia kumpulkan tabung-tabung di halaman
tabung seberat anak sulungnya yang setahun
sudah mati kurang gizi
ia jejer segitiga dan paling berkarat
diletak paling muka
lalu ia gelindingkan logam-logam
bertuliskan rupiah berkilap-kilap

menghambur tabung
menghambur mata kantung

usai itu duduklah ia pada
helm motornya yang berlabel SNI
yang anti pecah, anti retak dan diharap
anti ledak pun sudah dipasangi selang
maka lepaslah angin dari perutnya
terkurung meronta dalam botol

"Cepat! Nyalakan kompor!"

--
Malang, 25072010
Andi M E Wirambara


READ MORE - Tabung

Di Antara hujan Lalu


Sebenarnya tak perlu kubuat Fla tersinggung hingga ia pergi ke halte yang tepat di depan pusat perbelanjaan ini, lagipula hari ini ulang tahunnya. Seharusnya tak perlu Fla memalingkan wajah tak acuh padaku, sambil entah apa yang ia tatap ke arah jalan raya yang ramai.

Kesalahanku memang, semula aku memang ingin menemaninya berbelanja, sambil menanti kabar dari rumah Fla. Ya, aku dan temanku yang lain ingin membuat acara kejutan untuknya, orang tuanya pun turut serta. Dan ketika kabar itu datang, aku ingin segera mengajaknya pulang. Hanya aku tak tahu kalau aku mengganggu kesenangannya sedang di sisi lain aku tak sabar ingin melihat ekspresinya saat acara kejutan nanti.

“ Sumpah, aku bosan. “

Aku tak sadar kalimat yang keluar dari mulutku sekitar 15 menit lalu itu justru menyinggungnya. Ia langsung menyudahi kegiatannya dan tanpa kata, ia ke halte tempat kami berada kini. Aku sendiri memainkan amplop kecil di jemariku, amplop berisi puisi yang akan kuberi di acara kejutannya nanti. Aku diam, bingung.

“Zi, kalau menurutmu aku sudah banyak nyita waktu kamu, maaf ya. Kalau kamu sibuk nggak apa-apa kok kamu langsung pulang, aku bisa pulang naik taksi.” Mendadak Fla dengan lembut membuyar sel-sel otakku yang tengah menghambur isi kepala untuk bisa membujuknya.

Fla memang seperti itu, tuturnya lembut menggulung-gulung amarah yang meriak perasaannya sehingga jarang sekali menyinggung siapa saja sekalipun ia tidak suka. Dan itu salah satu sikapnya yang paling kusuka bahkan sebelum ia membalas pernyataan perasaanku lebih setaun lalu. Dan mungkin karena sikapnya tersebut, aku tak tahu kalau aku begitu sering membuatnya kesal. Sebab ia sangat jarang merajuk dan jarang meminta kalau bukan aku yang menawarkan padanya. Terserah hanya di depanku atau terhadap siapapun, yang jelas aku seorang bodoh sampai melepas gadis yang satu ini.

****

Kupikir Fla menunggu sesuatu dariku, entah ucapan maaf atau lainnya. Sebab sudah berapa lama kami di sini, ia tak pula menghentikan bus atau taksi yang beberapa kali lewat. Orang-orang sekitar kami yang juga menunggu kendaraan umum di halte ini sudah berkali-kali berganti. Ia hanya menyandarkan diri di bangku halte, sambil memangku dagu dengan arah mata yang masih terbang entah ke mana. Bodohnya, aku pula masih diam terlalu banyak yang kupikirkan, terlalu berhati-hati. Aku tak mau ambil resiko sekalipun ia begitu santun, kesalahanku bicara akan buatnya membenciku.

Titik-titik air mulai muncul, buat aspal abu-abu di jalan menampakkan butir yang menghitamkan jalan, angin menjadi lebih dingin. Gerimis datang, makin cepat makin menampak wangi hujan yang khas. Orang–orang berhambur, masuk ke bus, angkutan kota, atau taksi sambil menutup kepala dengan tas atau punggung tangan.

Aku melirik Fla, wajahnya masih datar, murung tepatnya, dan sesekali membetulkan posisi duduk yang mungkin sebelumnya kurang nyaman untuknya. Hanya aku baru sadar, Fla duduk menjauh dariku. Sementara halte makin dipenuhi mereka yang berteduh dan perlahan bangku di sampingku mulai diduduki orang lain, seolah memberi tembok antara aku dan Fla.

Hujan bertambah deras, aku melirik Fla lagi, ia tetap nampak manis. Kali ini aku merasa betapa hujan begitu lekat pada romansa. Banyak syair, puisi, dan sajak cinta yang membawa hujan pada rinai kata. Termasuk kisah, setelah melihat Fla aku teringat perjalanan hatiku sejak dahulu.

****

Kalau cinta monyet termasuk dalam hitungan kisah hati, maka aku bisa memastikan kapan pertama kali aku jatuh cinta. Kelas 2 SD! (Tanpa sadar bibirku menyunggingkan senyum). Aku mengingat-ingat siapa sebenarnya cinta pertamaku dulu. Apakah Diana, anak perempuan termanis di kelasku, bahkan mungkin aku yang pertama kali menyadarinya sebelum anak laki-laki lain peduli pada ketertarikan dengan lawan jenis. Yang satu lagi adalah Dina, hanya berbeda satu huruf dari Diana. Rumahnya tak jauh dari rumahku, sering bermain bersama temanku yang lain ketika sore hari tiba.

Namun kusebut saja Diana cinta pertamaku, sebab rasaku lebih kuat padanya. Aku menutup mulut menahan geli agar tak dilihat orang di halte termasuk Fla. Sebab bagaimana bisa aku sok bicara cinta sementara sinetron saat itu adalah Si Doel Anak Sekolahan dan Keluarga Cemara, atau acara yang kuserap adalah kuis-kuis dan kartun tiap hari minggu? Yang jelas, aku tertarik melanjutkan lamunanku.

Kamu kok nggak piket? Ku bilangin Bu Guru nanti.”

“Tukang ngadu! Huu...!!”

“Biarin! Kubilangin! Wee..!”

“Awas kamu berani ngadu-ngadu..”

“Emang kenapa? Mau mukul? Mukul perempuan?”

Percakapan seperti itu sering sekali terjadi di tiap selasa pagi, dimana jadwal piket kelas jatuh padaku, Diana, serta beberapa lainnya. Diana rajin sekali tiba pagi-pagi dan langsung menyapu kelas, sementara aku hanya datang langsung duduk diam dan memandang Diana dengan bedak di pipinya. Rambutnya yang terurai sebahu turun sedikit tersisir rapi dan jepit rambut kupu-kupunya membuatnya lebih manis. Kupikir ibunya telaten sekali merawat anaknya ini.

Kesamaan Diana dengan Fla adalah matanya yang lembut, aku langsung ingat bagaimana aku baru mau bergerak piket jika Diana sudah menatapku sambil mengerinyitkan alisnya. Atau saat Diana hendak menangis jika aku mengejeknya “jelek” dan ia mengejar-ngejarku sementara teman-teman lain menyoraki kami. Sementara aku tertawa saja ketika suatu saat tertangkap dan ia mencubitku bahkan hingga mataku memerah. Dalam hati aku berseru: “Inikah namanya... Cinta !?”

****

Pekak hujan masih berbaur di antara orang-orang yang memangku tangan di halte ini, aku sendiri akhirnya menangkap Fla melirik ke arahku. Hanya saja ia langsung memalingkan wajah dan murung lagi. Entah apa yang ia pikirkan, dan ia duduk di ujung bangku sambil sesekali mengelap dengan tisu, percik-percik hujan yang jatuh ke tas yang ia pangku. Aku tetap bingung, namun lamunanku pada Diana belum berhenti.

Yang paling ku ingat dari Diana, adalah ketika hujan. Hujan begitu deras dan kami terjebak di perpustakaan. Saat itu kami sudah kelas 3 SD, dan kami masih harus menanti orang tua kami menjemput. Petir menyambar, guru menyuruh kami jangan keluar hingga hujan reda. Sialnya, malariaku kambuh. Aku menggigil, tubuhku panas, wajahku memutih pucat, gemertak gigi seolah menambah dentum pening di kepala, aku ambruk di meja perpustakaan. Guruku yang menyadarinya langsung berlari di tengah hujan dengan payungnya mencari obat-obatan.

Diana di sampingku, berkali-kali memastikan suhu tubuhku dengan punggung tangannya yang mungil, tangan kanannya menempel di keningku, dan yang kiri ia tempelkan di keningnya, terkadang ia tempelkan pada dinding atau botol air minumnya.

“Sabar ya Ozi, ini biar panasmu turun.”

Suara dari bibir mungilnya masih belum mampu membuatku berhenti menggigil dan wajahnya makin kabur dari pandangan. Tapi sayup aku mendengar ia sesekali mengisak, menahan tangis. Sesaat aku sadar bahwa matanya berkaca-kaca.

Ozi... kenapa..?? Ozi ! BU GURU! BU GURU!”

Ia panik, melepas jaket putihnya dan memakaikannya padaku, ia memelukku, hangat. Entah tak lama, aku sudah berada di rumah. Kepalaku masih pusing dan ditempeli kompres, dan guruku ada di sana bersama orang tuaku. Berceritalah bahwa aku dan Diana akhirnya sama-sama tertidur di perpustakaan.

Aku melirik lagi pada Fla, seolah menyirat lembut hati Diana yang sepantasnya kubalas lebih. Seperti Fla yang hampir tak pernah menampakkan sedikit pun sikap kasar padaku. Dan mungkin sepantasnya kulakukan untuk berterima kasih pada Diana yang tak sempat kuucap. Begitulah, Diana pindah kota ketika aku sembuh dan masuk sekolah lagi. Sepi.

****

Selang seminggu perginya Diana, hatiku terpaut pada anak baru pindahan bernama Pipit. Sikapnya lebih kalem dan pipinya menggemaskan, ia begitu cantik dan segera saja bocah-bocah ingusan –termasuk aku- menjadi anak baik di depannya untuk mencari perhatian. Dan tak disangka, langsung tertera rangking 1 di bagi rapor pertamanya. Menggeser juara kelas sebelumnya –yang juga anak pindahan- bernama Septiani. Ia juga cantik namun lebih sering diganggu anak paling nakal di kelas, Septian. Entah bagaimana kemiripan nama itu membuat mereka begitu identik, kalau Septiani menangis, pelakunya pasti Septian.

Pipit duduk di bangku di depanku, ia duduk sebangku dengan Fikri yang juga temanku –yang juga mencari perhatian Pipit- sampai begitu akrab. Aku iri, geram, kadang menggigit ujung pensilku, terlebih saat Pipit dengan sabar mengajari Fikri soal pelajaran. Kupikir saat itulah aku merasakan cemburu pertama kali. Tak jauh beda rasanya dengan cemburuku saat aku melihat sainganku untuk mendapatkan Fla dahulu dengan kedekatan yang amat sangat hingga menumbuh tanduk setan di atas kepalaku.

Aku dan teman sekelasku selalu membahas Pipit jika mengobrol. Topik Pipit selalu berada di 5 besar di antara obrolan kartun, mainan, jajanan, atau siapa yang patut dimusuhi, siapa yang dikawani. Pernah suatu ketika kami berdebat bahwa Pipit adalah perempuan misterius. Ketika pelajaran olahraga, ia cepat sekali berlari tanpa kami sadar. Fikri mengatakan Pipit itu punya selendang bak bidadari yang bisa teleport (kemampuan berpindah tempat sekejap mata), dan langsung saja kami menyorakinya bahwa ia menyukai Pipit. Fikri malu dan menarik kata-katanya, menyerahkan kesimpulan akhir siapa Pipit pada kami. Aku sendiri mengatakan Pipit manusia biasa yang punya keturunan cyborg.

****

Bus datang lagi, beberapa orang di halte berebutan naik segera agar tidak basah oleh hujan. Termasuk orang yang duduk di sampingku, hingga tak ada orang lagi yang menghalangi dudukku dengan Fla. Kusadari kami sudah terlalu lama di halte ini, dalam diam, terkurung hujan yang tak kunjung menanda akan reda. Lamunanku pun sudah begitu jauh, meski masih tentang Pipit.


Kisahku identik sekali dengan hujan. Sebab kembali, hujan turun menahanku dan Pipit di sekolah. Pipit menangis, ketakutan mendengar petir yang menggelegar. Di sela isaknya, ia bercerita dahulu sewaktu hujan seperti ini dia pernah melihat hujan dari jendela belakang rumahnya. Dengan rumah tepat di depan sawah, ia melihat orang yang melewati jalan setapak di sawah berlari menghindari hujan. Tak terduga, ia melihat bencana yang seharusnya tak terjadi di depan matanya. Yaitu petir menyambar orang-orang yang berlarian tersebut hingga tubuh mereka gosong, entah selamat atau tidak, Pipit tak menceritakannya padaku.

Aku yang takjub sekaligus takut mencoba menghiburnya, aku berpesan yang penting kalau di tengah hujan pakai payung atau jangan berada di lapangan yang luas tanpa pohon. Ia masih terisak dan waktu berlalu hingga hujan reda. Esoknya, pagiku di sekolah di sambut senyumnya yang menawan, terang-terangan ia berkata akulah teman terbaiknya, mampu mengusir rasa takutnya. Kuyakin Fikri dan lainnya bakal mengolok-olokku nanti sebagai tanda rasa iri mereka.

...

Aku tak sempat berpamit pada Pipit, aku pindah sekolah sekaligus pindah kota sewaktu kelas 4 SD. Ternyata hujan masih mengekor kisahku. Di sini aku mengenal Rini, menyukainya, dimana pertama kalinya aku berani mengirimkan surat cinta –tepatnya surat kaleng- tanpa nama. Dan kali ini hujan mengerjaiku, sebab Rini membacanya saat hujan turun. Dan tak disangka langit-langit di atas bangkunya bocor, air menetes dan melunturkan tulisanku tanpa sempat ia selamatkan. Mungkin hingga kini Rini takkan pernah tahu siapa yang begitu romantis mengirimkannya surat cinta.

Kesialan dari hujan terjadi lagi kala aku tertarik pada Linda di kelas 5 SD, hanya tak mungkin lagi aku mengharap balasan perasaannya ketika hujan memaksa kami sekelas bermain bola di kelas pada jam istirahat. Cerobohku, kupecahkan kacamatanya, dan ia langsung membenciku sebenci-bencinya.

****

Aku tak lagi memperhatikan waktu, berapa lama sudah hujan deras ini mengurung aku, Fla, dan mereka yang juga di halte yang sama denganku kali ini. Aku juga tak mengerti apakah Fla sangat bosan di sini, wajahnya masih sama sejak ia kesal padaku tadi. Sesekali Fla mengusap kulit di kedua tangannya yang bersih macam perempuan Jepang itu. Apakah aku kehilangan perhatian? Ia hanya menggunakan baju kaos dan aku tahu ia kedinginan, tapi aku justru masih beku? Pertanyaan ini mengalir bersama keinginanku melanjutkan lamunan yang kupikir mulai buatku candu.

Seingatku tak ada hujan yang berhubungan dengan kesan hati bocah sepertiku di kelas 6 SD, mungkin hujan bosan, atau mungkin pensiun. Hanya saja daya tarikku mulai semakin dijelaskan saat itu. Sebab aku menjadi idola, bisa terhitung mereka yang bergantian menyatakan perasaan mereka padaku. Dan seingatku pula, tak ada satu dari mereka yang kuterima. Ah, aku bahkan tidak mau mengingat-ingat apa alasanku pada mereka.

Aku melirik Fla kembali, kali ini di tangannya memegang kertas kecil yang dilipat-lipat. Hanya digenggamnya, dan aku tak tahu itu apa. Akupun merasa lamunanku kehilangan gairahnya, mungkin kecamuk bimbangku mulai nampak lagi ke permukaan pikiranku sekarang.

....

Jauh sebelum bersama Fla sekarang, aku akhirnya berpacaran untuk pertama kalinya ketika SMP. Hanya aku dan beberapa teman yang tahu, orang tua tentu jangan sampai tahu. Adalah Liana, yang membuatku menambat status untuk pertama kalinya. Dan hujan kembali menjabat tangannya padaku, di bawah pondok pinggir sungai di tengah hujan yang terdorong angin hingga hujan seperti jatuh secara miring ke muka sungai yang berombak-ombak. Saat itulah Liana setuju untuk menjalani kisah monyet itu.

Aku tak lagi bersama Liana di bangku SMA, dan seorang bernama Farah mengisi kosong hatiku saat itu. Dan hujan yang tak konsisten menjadi latar belakang momentum berpisahnya aku dan Farah, terlebih saat aku memeluk gunungan tanah yang menimbunnya di pemakaman. Aku menangis tak henti bersama hujan meng-kuyup-kan aku yang juga mengumpat entah kecelakaan apa yang merenggut kekasihku itu untuk selamanya.

****

Perginya Farah beriku murung yang panjang, betapa keadaanku serba salah dan tak tahu harus bagaimana. Bergantian orang menghiburku yang kehilangan, hingga akhirnya perlahan aku bisa kembali pada hati yang mulai bisa menerima kenyataan.

Ingatanku pada Farah membuat dadaku bergetar hebat, kali ini aku memandangi Fla. Jika gejala trauma muncul padaku, maka aku mulai ketakutan bagaimana kalau aku kehilangan gadis seperti Fla? Sementara di ujung bangku halte ini Fla sudah membuka kertas di tangannya yang terlipat sebelumnya.

Fla hadir di hidupku setelah aku melewati kisah yang juga diiringi hujan. Seorang yang aku rasa sudah tahap aku -berani mengatakan- mencintainya, justru menjadi yang seumur-umur pertama kalinya menolakku. Tepat di bawah hujan, tepat di sela rinainya. Dan Fla muncul ketika kami berada di universitas yang sama, seolah menutup sakit hatiku yang panjang mendera.

....

Secarik kertas itu Fla tatap dengan serius, sekilas memang ada tulisan di sana. Jarak dudukku dengan Fla sekarang belum cukup untukku bisa mengintip tulisan apa di sana. Hanya mendadak Fla menutup mulut dengan tangannya sendiri, ia sedikit melirikku dengan tatapan yang sayu, aku ingat kapan terakhir kali Fla menyorotiku dengan mata seperti itu.

Suau hari, aku yang cukup dekat dengan Fla berada tak jauh dari kejadian dimana Fla bertengkar hebat dengan kekasih –sekarang mantan- nya. Lelaki itu begitu bodoh menduakan seorang Fla, Fla tak bisa menerima itu dan suatu perdebatan panjang di taman sepi sudut kampusku (mungkin lebih tepatnya orang menjauh dari sana melihat pertengkaran tersebut), hingga akhirnya mereka resmi putus. Fla menatapku sejenak, air matanya turun, ia menghampiriku, memelukku. Dan hujan pun turun. Kejadian itu adalah penanda akulah yang akhirnya menggantikan lelakinya yang payah itu.

****

Hujan sudah nampak mengurangi curahnya, orang-orang di halte satu-persatu pergi meninggalkan halte ini. Langit masih gelap dan pelit-pelit menurunkan rintiknya, garis air nampak membekas di sela mata Fla. Dia menangis? Aku terkejut, bingung, panik. Ada apa? Sedang ia masih sambil memegang carik kertas tersebut. Apa yang sebenarnya ia pikirkan sejak tadi? Apakah sepertiku yang melamunkan masa lalu? Dan ia sampai pada ingatannya tentang sakit hatinya dulu? Atau ia tengah memikirkan kata untuk berpisah denganku? Ah, jangan sampai..

Tiba-tiba saja Fla menoleh ringan padaku, ia tersenyum, aku melongo. Senyumnya masih beriring ketika ia mulai membuka bibirnya meski matanya masih nampak berkaca.

“Ozi..” Fla bicara padaku!

“Maaf ya Fla.. aku minta maaf yang tadi..“ ujarku sedikit menunduk.

“Kamu segitunya diamkan aku di sini dari tadi, aku bisa mati bosan.” Celaka! Benar, ia menungguku bicara sejak tadi.

“Aku bener-bener minta maaf Fla...” aku memelas.

“Harusnya aku sadar kalau kamu begini sejak dulu.” Ujarnya sambil tersenyum.

Kalimat terakhirnya mengejutkanku, ia membaca ekspresiku tersebut. Ia mengipaskan carik kertas yang ia baca sejak tadi di depan mataku.

Ini punya kamu, kan? Tadi jatuh pas kamu diam. Melamun ya? Tampangmu polos banget dari tadi.” Lanjutnya lagi sambil menggodaku.

Aku akhirnya benar-benar paham, kertas itu dia ambil dari amplop yang kumainkan di jemariku di awal tadi. Lamunan panjangku buat tak sadar amplop itu terjatuh ke dekat Fla dan ia memunguti dan membaca kertas di dalamnya. Kertas berisi puisi, yang sengaja kubuat sekaligus mengingatnya akan kenang yang juga baru-baru saja kusadar. Tentang dirinya di antara hujan lalu. Dan ia pun ingat itu.

---

DI ANTARA HUJAN LALU


Katakan, Fla! Apa yang kau ingat

dibalik rumpun hujan yang menyapa

perpustakaan sekolah kita?


Fla, ketika mulai rindu padamu aku

dengan tangan di bawah dagu mencuil waktu

tidak untuk ke belakang, tak pula ke depan

namun ke antah berantah yang kucipta sendiri dan

kita sebagai penghuninya

nikmati panorama yang bisa

kuganti sesuka hati


Fla, di sana akulah skenario yang mengatur

kalimat hingga segala gerakmu

pada sebuah berantah, dimana

selamanya definisi cinta hanya ada satu

terselip di jaket putih mungilmu dahulu


; Kisah kau dan aku.


Teruntukmu, kekasih

Fladiana Tiara

----


Aku memeluk Fla, memeluknya erat. Tak peduli siapa yang melihat dan membicarakan kami di halte ini, aku masih memeluknya. Hangat. Seperti hangat yang ia beri padaku di perpustakaan dahulu, di antara hujan yang mengait kisahku sejak lalu. Ya, Fla adalah yang pertama, masih yang pertama.


Hujan kembali turun....

READ MORE - Di Antara hujan Lalu

Tentang Kartu dan Rindu






















ada lembar kartu yang
lekat di kecupmu
apakah itu rindu? bernilai seperti mata dadu
namun sisinya tutup-menipu waktu

dan kau bersitatap menantangku mainkannya
hingga berkali pagi datang renggut rindu yang kupunya


sempat kau katakan padaku tentang betapa letih
sejak lalu menumpuk-numpuk lirih di jemari
dan kau minta aku mengaduk dan membaginya lagi
lalu kita bermain sebagai lawan
saling bertaruh airmata yang usang
pun siapapun pemenang pantas untuk
diberi pelupuk yang sedia menyimpan kenang
gamang rindu selalu mencipta genang

namun aku lebih mau
mengurungmu di dalam kartu
lebih dari alasan agar kau tak pergi
agar kau masih ada di bawah bantalku tiap pagi
dan biarkanmu kaku
hingga aku puas memandangimu tiap waktu
sekedar untukmu tahu rasa
aku yang lebih dulu kau belenggu

:pada mayapada di sela garis-garis bilik rindu
yang terlipat-lipat oleh ragu



------
Malang, 17072010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Tentang Kartu dan Rindu

Piala (Cukup Belanda Saja)

padaku, ia perkenalkan dirinya
piala pencipta gempita
delapanbelas karat lapis emasnya
ditimbang harga buat kaget saku celana
meski nilai gengsinya lebih bisa
beri makan anak kelaparan sekian negara

padanya, aku bercerita
tentang belanda yang kata orang indonesia
penjajah bengis, tak pantas juara
apalagi pegang piala
adapula sontak teriak
"BUNG, INI PESTA SPORTIVITAS! PERANG? PEDULI KATAK!"

padaku, ia balas bercerita tentang gagah dirinya
sambil mengangkat tangannya tinggi
sambil menopang bundarnya bumi
sementara belanda, padanya terpana

namun hanya akan bisa
mencium bau ketiaknya saja
sedang lawan mereka
yang mengayunkannya di atas kepala

..kali ini pun..


---------
Malang, 11072010 23:15 WIB
READ MORE - Piala (Cukup Belanda Saja)