Indonesia adalah negara multikultural, bermacam suku, bermacam agama, bermacam adat, bermacam seni, bermacam watak, bermacam masalah, bermacam kehebohan, dan bermacam pula macam-macamnya yang sudah banyak macam itu. Macam Sumatera, macam tutul, macam putih. Macam-macamlah pokoknya.

Beruntung, keberagaman ini cocok dengan budaya masyarakat yang pantasnya dilestarikan. Seperti yang tengah dilakukan para warga desa Xemprul Jayamakmur, gotong-royong. Masih lima hari jelang tanggal 17 agustus, tapi suasananya sangat terasa. Kain merah putih, dikibarkan di pucuk bambu yang dipancang pada pinggir-pinggir jalan, gapura yang di-cat ulang, membersihkan patung pahlawan, menempel poster Harry Potter dan Lady Gaga.

Dan tentu, perayaan 17 agustus identik dengan lomba meriah nan heboh. Termasuk desa yang memiliki Pak Surya sebagai kepala desa ini. Beliau pemimpin yang baik, bijaksana dan cerdas. Agar yang disebut “Agustusan” ini meriah, beliau bahkan mengeluarkan anggaran khusus dengan segala perhitungan yang tetap membuat kas desa dalam lingkup aman, tanpa memusingkan inflasi, tanpa takut dibingungkan oleh redominansi rupiah. Warga tingal menanti kapan mereka bisa mengikuti lomba balap kerupuk, makan karung, panjat pensil, ataupun memasukkan pinang ke dalam botol.

Tahun ini sangat istimewa, sebab kepala desa membuat kompetisi pada lomba-lomba yang ada, dengan mengundang perwakilan dari desa lain untuk saling berlomba. Sudah ada dukungan serta sponsor dari PDDSB (Persatuan Desa-Desa Sejahtera Booo..) untuk melaksanakan acara itu nanti.

****

Plung!

Di bawah langit serta selintas awan-awan putih yang tipis, di antara bunyi ilalang yang beradu dengan gemercik air. Jono merenung dengan tangan memangku dagu. Dia tak terlalu acuh soal agustusan di depan mata, di pikirannya hanya berputar-putar Meidy dan Meidy. Nama yang menarik, tak salah sebab orangnya pun menarik. Meidy seorang perempuan cantik yang cerdas, tak heran jadi kembang desa. Anak gadis dari pak Surya, sang kepala desa.

Jono menyukai Meidy, dan sering cemburu melihat banyak pemuda yang mendekati Meidy, mencoba menggoda dan merayunya. Tapi status anak kepala desa yang disandang Meidy buat persaingan itu bukanlah persaingan enteng. Siapapun yang mencoba menaklukan Meidy, berarti juga perlu menaklukan kepala desa. Itulah yang buat Jono berkecamuk, ia pemuda yang cukup tampan dan cukup baik. Hanya tak cukup bisa menunjukkan kepantasannya untuk Meidy.

DUK! DUK! DUK!

“Lama betul kau di dalam sana, Jon! Jangan-jangan kau sedang keluarkan tabung gas dua belas kilo dari perut kau itu.” Teriak Nurdin menggedor-gedor pintu toilet (baca: jamban terbuka yang hanya berdinding papan dan seng, beratap langit biru ber-kloset papan bolong yang tembus ke sungai). Lalu Nurdin langsung lari sejauh 300 meter seraya menutup hidung yang sebenarnya sudah ditutupi masker 30 lapis.

“Diamlah Din, aku pusing! Bagaimana biar Meidy mau padaku.” jawab Jono.

Plung! Plung!

“Apa pula bunyi plung-nya kau tambah satu, Jon! Soal Meidy rupanya. Kau sudah dengar belum pak Surya buat kompetisi lomba agustusan?” ujar Nurdin sambil mencoba menguburkan hidungnya ke tanah.

“Itu aku sudah tahu, apa hubungannya dengan Meidy? Errggh..” Jono bertanya lagi sambil mengerahkan tenaga. Plung!

“Payah kali kau Jon!” cetus Nurdin. “Pak Surya adakan seleksi pemuda untuk jadi atlet-atlet lomba mewakili desa kita. Meidy juga jadi jurinya, kesempatanmu buat cari perhatian.” Lanjutnya.

Plung! Plung! Plung! Ceplung! Pluk!

Seolah mendapat pencerahan hati, Jono tersenyum menanda telah melepas sebagian beban. Ia membersihkan diri, berdiri dan keluar dari toilet terbuka itu.

“Nurdin! Aku ajak aku ke seleksi itu! Aku ikut!” teriak Jono pada Nurdin dengan suara yang benar-benar lelaki, lantang, seraya mengepalkan tangan dan diangkatnya ke udara.

“Tidak mau! Malu aku ajak-ajak kau!” balas Nurdin.

“Apa maksudmu? Tadi kamu yang kasih tahu aku, malu apa kamu?” Jono heran.

“Jelas aku malu! Pakai dulu celanamu!” Nurdin langsung pergi berlalu.

****

Di lapangan kantor pedesaan, orang-orang sudah ramai berkumpul. Di antaranya banyak pemuda yang menanti seleksi atlet lomba yang diawali upacara pembukaan oleh kepala desa.

“Masyarakat dan pemuda desa yang saya banggakan., izinkan saya selaku kepala desa menyampaikan rasa terima kasih saya dari anda yang begitu antusias ikut seleksi ini tanpa paksaan, tanpa suap, dan semangat. Jujur, sejak Belanda dikalahkan Spanyol pada final piala dunia kemarin, saya kurang yakin desa kita punya potensi berprestasi pada olahraga. Tapi kecemasan saya hilang ketika Valentino Rossi bisa kembali naik podium setelah cedera yang panjang. Saya harapkan melalui seleksi ini, kita bisa menyaksikan bakat terpendam yang dimiliki desa untuk bersaing di kancah Lomba Tujuh Belasan antar desa, yang akhirnya membawa desa kita dipandang di dunia internasional. Itu saja dari saya, sekian dan terima kasih. Salam sejahtera untuk kita semua. Pertama-tama, marilah kita...”

Tak terasa belasan jam berlalu, kepala desa menutup pidatonya dengan doa bersama dan melakukan potong tumpeng. Juga menyalakan kemenyan sebagai tanda dimulainya seleksi. Sementara ketegangan nampak di wajah peserta, termasuk Jono.

“Kamu mau ikut cabang lomba apa?” tanya Pak Surya.

Jono diam, ia tak berkonsentrasi karena sibuk melirik Meidy yang sedang mewawancarai peserta lain di sebelahnya, seorang pemuda yang sedikit lebih tua dari Jono.

“Kamu mau ikut cabang apa?” tanya Meidy pada pemuda itu.

“Balap karung.” Jawab pemuda tersebut.

“Hm.. menurutku kamu bisa ikut panjat pinang karena bodimu tinggi. Lagipula aku suka lelaki yang bisa panjat pinang, dia pasti tangguh dan tidak sepertiku, takut ketinggian. Hehe.. tapi larimu cepat dan kupikir mampu untuk balap karung pilihanmu. Tak perlu tes, kamu lulus untuk mewakili cabang balap karung. Sampai jumpa lagi di perlombaan, Cristiano Ronaldo.” Tutur Meidy dengan lancar.

“Jono!” suara Kepala Desa mengagetkan Jono. “Jadi apa?” tanya kepala desa lagi.

“Aku ikut panjat pinang!” Ujar Jono lalu tersenyum. Memilih panjat pinang, dari percakapan Meidy dengan Cristiano Ronaldo tadi. Meidy suka lelaki yang ikut panjat pinang!

Seleksi terbagi atas tiga jalur kelulusan. Pertama adalah jalur rekrut, atlet-atlet yang ditunjuk langsung badan keolahragaan desa sudah pasti ikut dalam kompetisi tanpa seleksi. Yang kedua jalur tanpa tes, seperti yang dilakukan Meidy yang sudah yakin pada calon atlet bisa langsung lulus tanpa tes sekalipun karena kemampuannya. Jalur terakhir adalah jalur tes, jumlah peserta harus diciutkan dengan cara memberikan tes berupa ujian-ujian sehingga tersisa beberapa yang ditargetkan panitia.

****

Sebagai orang dengan kemampuan samar-samar, Jono harus mengikuti tes seleksi dan bersaing dengan banyak peserta lain. Setelah tes fisik dan mental yang panjang, Jono lolos ke babak terakhir. Dia tinggal menanti keputusan juri, apakah lulus atau tidak.

“Tampangmu ganteng, kupikir ikut panjat pinang bukan ide bagus untukmu.” Rossa memberikan komentarnya sebagai salah satu juri.

“Aku terkesan dengan semangatmu hingga sampai sini, meski aku tidak suka kamu mengupil waktu ujian panco tadi. Tapi aku setuju kamu lulus.” Terang Agnes Monica.

“Kamu begitu menghayati ketika ujian Peluk-Pinang-Mesra tadi. Modal bagus!” Ujar Erwin Gutawa.

“Satu kalimat, kamu lulus Jono!” sebuah keputusan dari Anang menandakan Jono lulus sebagai salah satu atlet yang berlaga di kompetisi nanti.

Jono terharu, ia menangis bahagia. Jono bersujud di tanah dan memeluk sobatnya, Nurdin. Keluarga serta kerabatnya memeluk dan memberi selamat pada Jono, nampak pula Krisdayanti dan Raul Lemmos di antara para penonton ujian bertepuk tangan untuk keberhasilan Jono.

Senyum Jono melebar melihat seorang mendatanginya. Benar! Meidy. Jono terpaku terpana saat Meidy mendekatinya, dengan membawa kertas berisi jadwal latihan Jono jelang 17 agustus nanti.

“Selamat ya Jono, ini jadwal-jadwal latihanmu.” Meidy menyodorkan selembar kertas pada Jono.

“Ah.. anu.. Meidy.. anu..” Jono terbata. “A..apa benar kamu suka lelaki yang.. pa.. panjang..” Jono makin gugup sementara Meidy mengerinyitkan alisnya.

“Panjang?” Meidy heran.

“Eh, ma.. maaf, maksudku panja.. panjat pinang. Ya! Panjat pinang. Apa kamu suka lelaki yang ikut panjat pinang?” Jono membetulkan ucapannya tetap dengan jantung berdebar. Meidy melengkungkan senyumnya, sedikit menarik nafas.

“Benar, lalu? Kamu jadi atlet buat cari perhatianku?”

Jono sungguh terkejut, Meidy sudah membaca maksudnya. Wajah Jono memerah, malu, asap mengepul di atas kepalanya. Sementara di belakangnya beberapa ibu-ibu berebutan hendak menceplok telur di atas kepala Jono.

Meidy beranjak pergi, Jono makin bersemangat. Ia siap untuk mengikuti serangkaian latihan berat dibawah kepelatihan seorang pelatih panjat pinang kelas dunia, Diego Maradona.

****

Hari ini tanggal 17 agustus, riuh kegembiraan dimana-mana. Teriakan merdeka oleh anak-anak, seruan pemberi semangat, jingkrak-jingkrak anak muda dari penampilan Greenday, histeris gadis desa pada Super Junior, Shakira, dan Wondergirls. Tampak atlet lomba dari desa lain sudah datang berkumpul, lomba siap dimulai.

Semalam sebelumnya, seekor burung hantu masuk ke kamar Jono membawa suplemen untuk kebugaran tubuh, tak lama seekor gagak hitam juga masuk ke kamar Jono melalui jendela membawa handuk kecil putih. Disusul dengan datangnya burung Nazar –yang sehari-harinya memakan bangkai– mengantarkan sebuah surat warna merah hati pada Jono.

“Kamu menarik, Jono. Kalau benar-benar kamu ingin membuktikan sesuatu padaku, lakukanlah. Aku memberikanmu barang-barang itu untuk mendukungmu. –Meidy-“
.....

Ah, romantis sekali perempuan yang satu ini pakai surat burung segala. Gumam Jono dalam hati seraya melipat kertas surat itu ke kantung celananya. Surat itu selalu Jono bawa termasuk saat sekarang, saat menanti giliran Jono untuk berlomba panjat pinang melawan atlet dari desa Konoha.

Panitia memanggil kelompok Jono yang terdiri dari 20.456 anggota. Ada 19.000 anggota di antaranya jadi sukarelawan di Palestina, 1000 anggota tengah mengikuti aksi kubur diri di Jakarta, 400 anggota melakukan sweeping penyakit masyarakat di hari kemerdekaan, 50 lainnya mendadak mules, muntaber dan diare. Tersisalah Jono dan 5 anggota lain yang tersisa. Sayangnya salah satu anggota, mengundurkan diri karena harus ikut rapat membahas wacana perpindahan ibukota Indonesia dari Jakarta. Dan mirisnya sesaat sebelum pertandingan, Nurdin yang juga anggota kelompok Jono mendadak mengundurkan diri karena telinganya gatal.

Tersisalah Jono dan dua anggota lainnya, Upin dan Ipin.

“Pinangnya tinggi sekali ya..” Jono terpana melihat batang pinang setinggi 45 meter di depannya.

“Betul betul betul!” Upin dan Ipin mengiyakan.

Peraturannya sederhana, tiap kelompok diberi satu pohon pinang yang dilumuri minyak telon untuk dipanjat. Di puncaknya menggantung sepuluh tabung gas elpiji 3 kilogram, dan hanya ada satu yang tidak bisa meledak. Itulah yang harus diambil para peserta, antar kelompok bisa saling serang untuk mengganggu kelompok lain naik ke puncak pinang.

Jono memegang batang pinang tersebut dengan kedua telapak tangannya. Ia menoleh ke kanan dan melihat lawannya dari desa Konoha, Naruto nampak menyiapkan senjata ninjanya.

“Apakah semua peserta siap?” wasit memberi aba-aba. “Kita hitung mundur untuk memulai! Seratus dua puluh.. seratus sembilan belas.. seratus delapan belas.. seratus tujuh belas..” lanjut wasit mulai menghitung mundur.

Pendukung bersorak-sorai, sekelompok mahasiswa ikut datang menyampaikan orasinya, terompet dibunyikan dimana-mana. Jono tampak tegang dan tangannya berkeringat dingin, ketegangan bertambah ketika Deddy Corbuzier muncul membawa kotak yang sudah digembok berisi nama pemenang lomba panjat pinang ini.

“Tiga.. dua.. satu..” Wasit mengangkat tangannya yang memegang sniper.

DOR!

****

Jono memanjat lincah, merayap seperti Spiderman di gedung-gedung sambil memeluk batang pinang. Bersaing sengit dengan Naruto di pinang sebelahnya yang memanjat berlari vertikal di batang pinang dengan kedua kakinya. Sebentar lagi keduanya mencapai setengah batangnya.

Sementara di bawah, Sasuke yang juga wakil desa Konoha, mencoba menyemburkan api ke batang pinang kelompok Jono dengan jurus ninjanya. Tapi Upin dan Ipin dengan cekatan menyiramkan air raksa sehingga Sasuke terbakar lalu lari pontang-panting.

“Ce’ mane menang cuma sembur-sembur api?” Upin mengacak pinggang.
“Betul betul betul!”

Sementara Jono terus mempercepat panjatannya, ia menempel ketat kecepatan Naruto yang memang seorang ninja. Naruto melihat Jono dengan sinis, nampaknya ia merasa kerepotan melawan Jono yang begitu tangguh. Naruto mengeluarkan senjata yang bentuknya seperti bintang dari sakunya, shuriken! Dan dengan cepat melemparnya ke arah Jono. Jono terkejut dan berhasil menghindari lemparan shuriken tersebut. Naruto kesal, dia melempar beberapa shuriken lagi. Namun semua lemparan bia dihindari Jono.

Naruto kehabisan senjata, Jono menghela nafas lega sejenak dan berkonsetrasi kembali pada panjatannya di batang pinang yang tinggal seperempat lagi mencapai puncak.

Jono terkejut, mendadak Naruto lompat dari pinangnya dan mendarat di pinang milik Jono. Sekarang Naruto dan Jono memeluk pinang yang sama. Tak berhenti sampai situ, dengan tangan kiri yang memeluk batang pinang, tangan kanannya melayangkan tinju pada Jono. Jono mengelak, namun kali ini tangan kiri Naruto yang datang hendak meninju Jono. Jono menangkis dengan kepalan tangannya. Jadilah pertarungan adu pukul di pinang tersebut. Pertarungan sengit dan saling balas.

Tiba-tiba pegangan Jono dan Naruto terpeleset, secara refleks mereka meraih batang pinang dengan kedua tangan mereka. Mereka terkejut, posisi mereka saling berpelukan dengan hanya dipisahkan oleh batang pinang di tengah-tengah mereka. Wajah mereka sangat dekat dan makin mendekat, mata mereka bertemu, saling bersitatap, mereka berpandangan cukup lama, perlahan wajah Naruto menjadi lembut, wajah mereka terus mendekat dan makin dekat.

“Tampan, aku mencintaimu...” ucap Naruto dengan suara pelan dan sedikit berbisik.

Mata Jono membelalak, melotot, mulutnya menganga, wajahnya merah, perutnya mual, mulutnya menggembung hendak muntah-muntah. Tanpa sepatah kata Jono langsung memanjat ke atas dengan kecepatan yang di luar biasa. Ia menginjak kepala Naruto dan langsung melesat ke atas menuju puncak pinang. Naruto kehilangan keseimbangan, tangannya terlepas dari batang pinang, dan mulai meluncur jatuh dari ketinggian 30 meter.

Di bawah, Upin dan Ipin melihat ada sesuatu jatuh dari atas mereka. Terus mendekat dengan kecepatan tinggi.

“Upin! Ada yang jatuuuhh !!!!” teriak Ipin. “Lari lari lari !!!” ujar Upin panik.

Jono sampai di puncak, dia mengendus-endus tabung gas elpiji 3 kilogram di sekitarnya. Jono menemukan satu tabung yang tidak memunculkan bau khas elpiji. Tentunya tabung itu tidak akan meledak. Tak lama ada bau khas elpiji yang sangat kuat. Jono sadar, tabung lainnya akan segera meledak. Jono pun melompat sambil memeluk tabung yang aman tadi. BUUMM!!

Benar saja, sembilan tabung lainnya meledak. Sambil meluncur ke bawah, Jono mengembangkan parasutnya dan mendarat di tanah dengan selamat. Semua orang menyambutnya, bersorak-sorai atas kemenangan Jono. Kepala desa menyalaminya, mengalungkan serangkai bunga. Meidy menghampiri Jono dengan tersenyum.

“Meidy..” Jono menatap mata Meidy yang sudah di depannya kini.

“Apa, lelaki tangguh? Ada yang mau kamu bilang?” Meidy yang ahli membaca situasi, nampak memancing Jono.

“Ini untukmu, Meidy.” Jono menyodorkan tabung gas elpiji yang ia peluk. “Meidy, aku suka kamu..” Jono akhirnya mengungkapkan perasaannya.

Meidy tersipu, perlahan tangannya menyambut tabung gas elpiji itu. Ia menerima tabung tersebut, menanda Meidy menerima pernyataan perasaan Jono barusan. Para penonton menyoraki mereka, ada yang bersuit-suit, ada yang melempar-lempar kembang, dan lainnya dangdutan. Nampak dari kejauhan, pak Surya sang kepala desa memangku tangan seraya tersenyum. Matanya seolah berkata, setuju anaknya menjalin kasih dengan lelaki yang membuat kampungnya bangga.

****

Senja telah lewat beberapa saat lalu, gelap menyelimuti langit desa. Jono mengajak Meidy memanjat salah satu pinang bekas lomba seharian tadi, memberikan pengalaman indah untuk Meidy yang takut ketinggian.

Sampailah mereka di puncak pohon pinang. Meidy berdiri dengan sedikit gemetar, dengan mesra Jono memeluk perutnya. Meidy membusungkan dada dan merentangkan tangannya.

“I’m flying! I’m flying!” teriak Meidy semangat.

Dan di puncak pinang, Jono dan Meidy menikmati romansa mereka. Dari ketinggian menikmati pemandangan desa yang berkelap-kelip dan penuh warna. Memandangi panggung di mana warga desa bersuka ria dangdutan dan berjoget bersama.

......


T A M A T

Lagu soundtrack : .
....
Dasar kau keong racun
baru kenal eh ngajak tidur
Ngomong nggak sopan santun
kau anggap aku ayam kampung
Kau rayu diriku
kau goda diriku
kau colek diriku
Eh ku takut sekali
tanpa basa-basi kau ngajak happy happy
Eh kau tak tahu malu
tanpa basa-basi kau ngajak happy happy
....