Surat ini teruntuk(mu):
Sang bidadari / dewi / malaikat / permaisuri / pelita / jelita / cahaya / pujaan / ataupun putri yang tengah melamun sendiri pun tengah dalam dekap serigala / buaya / gurita / dedemit, dan sebangsanya. Terserahlah tersebut apa dirimu, jelas tiada sanggup mengkias puisi yang tersusun menjadi indahmu. Dan tiada keluhku, bagimu.


Aku hendak bercerita, sebuihnya!

Mungkin saja aku baru sekaliduakali saja mencicipkan suaramu pada daun telingaku. Namun tiada sekonyong berlalu sendu. Aku mengemas bulir suaramu ke dalam kotak hati, biarkan menggema-gema di sana. Hingga ada rindu yang terpantul, menyirat syairmu yang syahdu.

Kau yang begitu mampu meneduh gerahku akan rindu,
Andai aku begitu ahli menyulap kayu menjadi lemari. Maka akan kubuatkan satu untukmu, yang pada pintunya terukir sepasang merpati. Di mana kuselipkan namamu pada helai sayap mereka. Pun dalam lemari itu hanya kusimpan guci raksasa berisi suaraku, yang tiap bangun tidurku, kuteriakkan rindu di dalamnya.

Ketika aku memandangmu di balik jeruji jendelajendela kelas, dengan latar suara mono dari pengajar yang membuncah teorema kependudukan, politik kotor pun anarkisme di ranah bhinneka tunggal ika, yang kubayangkan adalah bagaimana aku mengkoalisikan aparatur hati yang kewalahan, hendak menghadang demonstran yang berontak memaksa untuk sekedar menyapa senyummu di belalak mataku.

Sudah jelas kau tiada pernah tahu, pun mengerti tentang saat pertama aku mulai memperhatikanmu dimulai dari mata, senyum dan seluruhmu yang tampak dari berbagai sudut proyeksi, sudut pandang ataupun menerkamu dengan limpahan metoda. Mulai dari teorika, doktrin, asas kebiasaan, norma-norma, pun penafsiran selayak aku meruak lembarlembar filsafat yang tersaji di rak-rak hati. Di mana ada ensiklopedi khusus tentangmu.

hanya kau perlu sadar
bahwa aku ingat sekali kapan
kau mulai membiusku
dari udara yang sama
yang kita hirup berjauhan


Sementara kau sibuk membaca titian kata yang menggenang di kelopak tanyamu, maka sesungguhnya tiada mungkin sanggup kau artikan satupersatu. Sebab akupun tengah menyalinmu dalam sebuah puisi di atas kertas putih bergaris, di daundaun hijau, di permukaan air kolam, ataupun di antara jaringjaring maya yang dibatasi bandwitch, problem koneksi, limit pakai, pulsa, ataupun billing warnet. Semua barang tentu serumit yang kau bayang yang bahkan tak guna kau pikirkan.

sebab cukup kau beri aku
tatap matamu yang dalam
terakumulasikan dengan senyum
yang khusus kau tuju
padaku
terjatuhlah segala lembar yang kutulis
ke lantai rasa
yang kau jejakkan di hatiku


Jika saja runtut waktu terbiasa mengeja, siapa saja yang tengah terpana oleh kau yang tengah diam saja, melamun lugu, maka ia akan meletak mataku di urutan teratas pada grafik yang menjulang dari kiri bawah ke kanan atas. Selayak deret perbandingan pencemaran udara tiap tahunnya, pun pencukuran hutan tanpa berwawasan lingkungan. Hingga begitu sulit, untuk manusia memenuhi sejuk alveolinya dengan udara segar. Dan paruparuku, mungkin tiada lagi merasa timbunan debu maupun asap kendaraan di sana, sebab aku menghirup bayangmu yang senantiasa menyejukku.

Kucukupkan dahulu,
Sesungguhnya hendak kukirimkan ini, menanda aku begitu mudahnya jatuh cinta pada fananya bola mata. Kau tentu.

Sekian dariku

*
pojok hati, hari ini bulan ini tahun ini
di bawah rintikan rindu yang tak kau tahu

tertanda dariku:

Pemilik jari manis tangan kirimu nanti




=====
Malang, 01052010
Andi M E Wirambara