Buku bersampul merah muda dengan gambar seorang gadis yang tengah memberi makan burung kecil yang hinggap di jemarinya itu digenggam seorang lelaki. Perawakannya gagah dan berwajah tampan, ia duduk di depan tendanya. Sebuah diary, diary yang bukan miliknya, melainkan milik seorang gadis, bernama Evi. Nampaknya masih baru. Ia mulai membaca lembar-lembar diary tersebut. 


****
Kamis, 21 maret

Dear diary, 
Tahukah kau? Aku begitu senang siang tadi! Ia begitu menarik perhatianku, ketika sedang makan sekalipun. Dan ia ada di depanku! Bayangkan, aku makan siang bersamanya. Berdua saja, hanya berdua. Posisi kami saling berhadapan, sesekali matanya melirik manis padaku. Ah, aku cuma bisa menatap meja sambil tersenyum malu. GR? Kupikir tidak, toh hanya aku yang ada di depannya, dan aku memang sudah mempersiapkan diri semanis mungkin sebelum mengiyakan ajaknya untuk makan siang bersama.

Pemalu, polos, manis, dan menggemaskan. Itu beberapa kata yang kupikir-pikir lumayan gombal yang ia ucapkan untuk mendeskripsikan aku. Mungkin benar, tapi kau tahu? dihadapannya saja aku merasa seperti ini. Tapi kurasa ia menyukaiku tak lebih karena aku gadis yang memang menarik dan cantik.

Diary,
Di sela kencan kami tadi ia merogoh ransel disampingnya, mengeluarkan sesuatu. Seperti kotak dengan tutup yang bening. Ia buka dan mengeluarkan isinya, dan coba tebaklah diary, itu...Jepit rambut! Berwarna perak dengan bentuk kura-kura mungil yang lucu. Dan ia menatapku sambil memainkan jepit rambut itu di jarinya.

Bisa kau bayangkan itu, diariku?
Ia menggapai helai rambut di atas telingaku, menjepitkan benda lucu tadi ke rambutku, begitu lembut, dan aku tak berani menoleh padanya, aku masih malu dan membawa wajahku ke arah berlawanan darinya. Aku menahan senyumku yang rasanya begitu kuat ingin keluar. Aku senang sekali! Bahagianya.

Kau ingin tau tentang Randa?
Laki-laki ini tak berubah sejak dulu, ia romantis, perhatian, dan penuh kejutan, pula sikapnya yang menyihirku. Entah belasan tahun berlalu saat aku mengenalnya pertama kali ketika duduk di bangku sekolah dasar. Dia adalah kakak kelasku yang ceroboh menendang bola sewaktu bermain bola dengan teman-temannya, dan mengenaiku hingga menangis. Ia minta maaf dan ternyata orang tua kami saling kenal. Sejak itulah kami mulai akrab, bahkan masuk sekolah menengah yang sama, dan kini kami kuliah di tempat yang sama, hanya saja fakultas kami berbeda. Kami sama-sama tahu perasaan kami, hanya saja, ia tak pernah menyatakannya padaku. Sedangkan aku, menunggu saja. Entah mengapa, yang jelas jangan menyuruhku yang menyatakannya, aku tak bisa.

Satu hal, aku senang sekali!

****


****
Jumat, 22 maret

Diary, malam ini dingin sekali... tapi aku masih ingin menulis untuk bercerita denganmu....
Setelah makan siang indah kemarin, aku bersiap untuk menghadapi momen indah sebentar lagi. Hari ini aku seharian bersama Anita.

Anita, sahabat terbaikku sejak masuk SMA, tong sampah untuk semua keluhanku, tempat aku bercerita, dan belanja bareng. Ia begitu baik dan setia sebagai sahabat. Bahkan untuk masalah dirinya sendiri, ia jarang sekali bercerita padaku, sepertinya dia benar-benar suka membantu. Ia cukup cantik dan berbeda denganku, ia suka gonta-ganti pacar, dan cerdas tentunya. Ia juga pendengar yang baik, tak heran aku begitu nyaman untuk menyebutnya sahabat. Ia juga mengerti tentang perasaanku pada Randa, bahkan ia juga tempat curhat seorang Randa, tak heran aku tahu banyak dengan Randa, toh Anita begitu baik membocorkan hal tentang Randa padaku, hahaha..

Tenanglah diary, kau juga sahabatku....untuk apa aku mencoretimu jika bukan sahabatku...hehe...

Dan kami berbelanja di suatu mall, lalu melanjutkannya ke supermarket. Kami ingin membeli kebutuhan untuk persiapan kemping. Ya, kau tahu? aku akan menginap di villa selama 3 malam bersama teman-temanku untuk mengisi libur, Anita tentunya, dan Randa adalah salah satu yang ikut. Nampaknya akan menjadi acara yang menyenangkan. Banyak bayangan acara menginap itu berseliweran dipikiranku. Ah.....

****

Masih tanpa ekspresi apapun, laki-laki itu melanjutkan membaca diary tersebut, nampaknya ia tertarik dengan isinya. Meski ia tahu, seharusnya ia tidak melakukan itu. Ia membuka halaman demi halamannya kembali.

****

Sabtu, 23 maret

Hai diary, 
Aku menyapamu lagi malam ini, aku semakin nyaman denganmu. Masih banyak lembar kosongmu untuk kutulisi. Kau adalah diariku yang kedua, aku memang suka menulis sejak dulu, dan kakakmu, diariku yang sebelumnya sudah penuh terisi. Tepat sekali ketika masa-masa sekolahku habis, hebat bukan?

Diary, besok acara menginap itu dilakukan. Aku sudah menyiapkan barang-barangku, aku tinggal berangkat esok. Aku tak bisa bayangkan bagaimana hariku dengan Randa besok. Ah...Randa, bagaimana dengan dia sekarang? Apa dia juga tak setenang aku sekarang ini? Jangan tertawa ya diary...hahaha...

Oh iya! Kau akan kuajak, sebab aku takut kita sama-sama kesepian. Tak ada libur untukmu, diariku...
****


****

Senin, 25 maret

Pukul 3 dinihari, larut sekali aku menyapamu diary. Tapi malamku kurang tanpamu, aku benar-benar ingin bercerita banyak tentang hari ini. Anita sudah tertidur pulas di sampingku, dan sekarang aku bercerita padamu.

Randa menjemputku pagi ini, ia selalu mempesonaku. Dan aku tentu telah membuat diriku juga mempesona untuknya. Di dalam mobilnya sudah ada Anita, Vivin, Andre, dan Hendri. Mereka begitu ceria pagi ini, begitupun aku.

Perjalanan menuju villa di dekat perkebunan teh selama 2 jam terasa sangat melelahkan untukku. Bagaimana tidak? Semangat teman-teman untuk bersenang-senang berjalan selama 15 menit awal perjalanan, mereka bernyanyi-nyanyi, berguyon, tertawa-tawa, dan membuat suasana begitu gila. Setelah itu mereka kelelahan, mengantuk, dan tidurlah di sepanjang jalan. Tapi hal yang kusuka, semoga kau tidak bosan dan geli dengan hal ini, diary. Tersisalah aku dan Randa yang masih melek!

Dia tentu harus begitu sebab ia yang menyetir mobil. Dan aku duduk di sebelahnya di kursi depan. Kami mengobrol sepanjang jalan dan seperti biasa, kami bercanda dan saling rayu sebagaimana sering kulakukan. Bagaimanapun itu, bagiku hal ini selalu istimewa untukku! Aku senang! S-E-N-A-N-G! 

Andai kau punya pipi sudah kucubit dirimu, diary. Tapi tak lama seperti itu, akupun akhirnya kalah dengan lelah. Akhirnya aku terpulas juga.

......

Semua bersemangat kembali ketika kami sampai di villa. Aku terbahak-bahak melihat Hendri yang menggeliat berburu turun dari mobil untuk buang air. Dia yang lebih dulu mencoba membuka pintu villa yang masih terkunci dan Randa yang memegang kuncinya. Sialnya Randa lupa ia menyimpan kuncinya dimana, hingga sibuklah kami mencari kuncinya di tas milik Randa. Bagaimana dengan Hendri?

Dia ternyata sangat sangat tidak tahan dan langsung berlari menuju kebun teh yang tak jauh dari seberang villa untuk mencari tempat buang air kecilnya. Jalan menuju kebuh teh yang menurun dan penuh gundukan membuat Hendri yang tidak berhati-hati terpeleset, terguling ke rimbunan daun teh, dan tak sempat membuang air kecilnya secara “ wajar “. Hahaha...benar, diary. Hendri pipis dicelana setelah tidak kuat menahan “desakan” tubuhnya. Dia begitu malu, lagipula jorok sekali, pipis di celana! Hahaha.....tapi aku tak berhenti tertawa hingga sakit perut. Tak masalah, toh problem Hendri tuntas sudah....hahahaa! ( Aku masih tertawa membayangkannya).

****

Lelaki yang membaca diary ini tersenyum kecil, nampaknya ia juga geli dengan cerita dalam diary tersebut. Tak ingin berlama-lama, ia melanjutkan membaca.

****

Diary,
Villa yang kami datangi ini tak asing untukku. Vila ini milik orang tua Randa, dan sewaktu kecil aku sering di ajak orang tuaku bermain-main ke sini. Dan yang kusuka di sini adalah ketika sore hari sebelum kabut yang dingin turun di kebun teh. Biasanya bersama Randa atau sendirian saja aku ke tengah kebun teh ada sebuah tempat kosong yang ditumbuhi rumput yang lembut dan sebuah pohon di sana. Biasanya aku ke sana membaca buku bersandar di pohonnya.

Dan aku tersenyum lebar ketika Randa mengajakku ke sana. Membawa beberapa soft drink dan cemilan untuk dimakan bersama, berdua lagi. Dan pergilah kami ke sana. ia memberi kejutan lagi! sebuah puisi! Puisi untukku!

Kusalin saja padamu ya, diary....??

==
KEBUN TEH

Di tengah kebun teh
Ku membisik kata
Mengalun bersama angin
Semilir hijaunya daun
Aroma hangat sebelum diseduh

Sejuk membelai rambutmu
Kala kabut hendak mengepul
Kau bersimpuh memeluk lutut
Berkalung syal halus

Tak lama,
Hatimu berpulas
Di pundakku
Bersama lalu lalang pemetik teh yang ramah menyapa kita
==


Aku akan menyimpannya, selalu, dan selalu. 

Diary, malam ini kami membuat api unggun di belakang halaman villa, membakar jagung, ayam, dan Hendri yang konyol ikut membakar jamur yang temukan di hutan sekitar kebun teh. Dan konyolnya lagi ia memakannya, sejak itu ia terbaring lemah karena perutnya kesakitan dan mual-mual. Hahaha...keracunan, untungnya tidak terlalu membahayakan sepertinya...hahahaha!!

Ah diary, sudah dulu...aku mengantuk.

****

****
Selasa, 26 maret

Diary!!! Tolong aku!!!
Tolong aku!!!!

Sebenarnya apa yang terjadi??? Liburan yang seharunya menyenangkan ini berbalik meremukkan hatiku! Kau tahu kenapa??

Aku pergi ke minimarket yang tak jauh dari lokasi villa, membeli sedikit cemilan untuk kami. Dan kau tahu apa yang kulihat setelah tiba di villa? RANDA MEMELUK ANITA ! Aku tak tahu harus apa. Marah-marah? Apa hak-ku? Randa bukanlah milikku...

Tapi tega sekali Anita mengkhianatiku! Sebagai sahabat yang tahu aku menyukai Randa. Ketahuilah diary, mereka bukan hanya berpelukan, tetapi mereka benar-benar mesra saat itu. Dan aku langsung ke kamar, mengcunci pintu, dan menangis sejadi-jadinya. Saat itulah aku menemukan secarik kertas yang menyembul dari tas milik Anita, kau ingin tahu isinya? Kutulis untukmu, diary.

==
TENTANG (W)ANITA YANG KUCINTA

Bukan tentang bidadari yang kupuja
Atau cleopatra yang memikat jiwa
Adalah mahkluk pengeruk pesona
Kau, (w)anita yang kucinta
Nafasmu adalah embun di pagi buta
Yang memekar kelopakkelopak bunga

Dariku : Randa
==


Aku benar-benar sakit, diary. Dan tadi Anita sempat menanyakan mengapa mataku bengkak, aku katakan saja tidak ada apa-apa. Diary, aku harus bagaimana???

Tak kuragukan lagi Randa telah bersama Anita, dan apa sebenarnya maksud perhatiannya padaku selama ini?? Palsu! Palsu! Bertahun aku seperti orang bodoh menantinya. Bodoh! Bodoh!

Diary,
Aku mau mati... ini bukan hal yang aku sanggupi. Di balik jendela aku juga melihat kecup mesra Randa menempel di kening Anita. Itukah sahabat? Diary, jangan seperti perempuan...(aku tak sanggup berkata kasar untuknya) itu. Jangan pernah khianati aku.
Diary,
Kertasmu masih banyak lembar yang kosong, namun terima kasih. Aku cukupkan saja hariku, dan kau tentu tidak mau kertasmu basah selalu oleh air mataku. 

Ini malam terakhir untuk kami menginap di sini, menyisakan pilu untukku. Seharusnya aku tahu, terlalu lama aku mengharap Randa, perasaannya pun memudar, ia juga belang sialan yang pengecut dan tak memulai hati. Dan dengan mudahnya berpindah pada Anita? Aku menangis saja, tak ada yang tahu aku menangis, pula sepasang gagak yang saling cumbu itu. KETERLALUAN!!!

Berakhir.
****

Lelaki itu menghentikan bacaannya, selanjutnya yang ada hanya lembar-lembar kosong yang ia temui. Evi benar-benar tidak melanjutkan lagi tulisannya. Lelaki itu kemudian menitikkan air matanya, prihatin. Ia menoleh pada gadis yang tengah terlelap di dalam tendanya.


“ Sekarang, maukah kamu mengembalikan diariku? ” Ucap seorang gadis di dalam tenda mengejutkan laki-laki itu.

“ Kamu sudah bangun? “ Lelaki itu terkejut.

Ya, gadis di tenda itu adalah Evi, dan lelaki yang membaca diarinya itu adalah Tio, seorang yang tengah berkemah di hutan sekitar kebun teh bersama beberapa temannya. Ia menemukan Evi di hutan dalam keadaan leher tergantung, tubuhnya membiru, gadis manis itu begitu berantakan, penampilan, pula pikirannya. Nampaknya Tio mengerti sudah, penyebabnya. Tio masih belum terlambat, Evi masih bisa ia selamatkan, meski sudah dalam keadaan pingsan dan hampir meninggal. Sementara rumah sakit jaraknya cukup jauh. Maka dibawalah Evi ke tendanya. Saat itulah Tio melihat diary di tas kecil yang dibawa Evi. Dan kini Evi telah sadar. Setelah sebelumnya mencoba mati.

“ Kenapa kamu tolong aku? “ Evi kembali bertanya.

Suaranya parau, masih terasa sesak di pernafasannya, pula hatinya. Masih beruntung ia tidak terlambat diselamatkan. Efek gantung dirinya tak terlalu parah. Tio dengan sigap memberi pertolongan.

“ Kamu baca diariku kan? Kamu tahu yang terjadi kan? “ Evi tak sanggup menahan air matanya, pun tumpah.

Tio mendekati Evi, menyelimui bagian belakang tubuh Evi yang tengah tersedu. Nampaknya lelaki ini akan menadi tokoh baru dalam hidup Evi yang begitu menyesakkan. Tio merangkul pundak Evi. Evi tak bergeming dengan lengan penyelamatnya yang masih asing untuknya.

“ Namamu Evi, bukan? Evi, seorang pecinta sejati tak akan memilih mati saat disakiti. Ia juga takkan membenci saat ia dikhianati. Pula takkan garang saat untuk cinta ia menjadi pecundang. Tapi ia juga tak sudi memberi kasih sayang saat itu, ia hanya diam, lalu bertindak untuk mengelak nasib. Bagaimana ia terus ada untuk membuat orang yang mengecewakannya membenci diri mereka sendiri.

Kau tahu bagaimana Randa adalah seorang yang tolol? Matikanlah hatimu untuknya, sebab ia sudah memutilasi harapan-harapanmu. Jangan jadikan cinta yang begitu lama hadir menjadi alasanmu untuk mematok hati dalam-dalam padanya. Pula sahabatmu Anita yang sebenarnya menjadikanmu boneka? Sebagai alasan untuk bisa bersama Randa. Jangan sebut sahabat, sahabat itu tulus.

Sesungguhnya yang kau rasakan itu cinta yang berlumut! Dimana sewaktu-waktu kau akan terpeleset karena begitu licin dan jatuh dengan sakit yang luar biasa. Atau cinta yang berdebu! Mengotori pernafasan hatimu saja. “

Suara lembut Tio menyingkap pesan tulusnya pada Evi, dia benar-benar simpatik padanya. Malang sekali gadis itu untuknya.

Evi hanya bisa diam, ia menatap wajah Tio dengan berkaca-kaca, ia memeluk Tio, menangis sejadi-jadinya. Ia benar-benar tertekan, begitu tertekan. Lelaki itu nampaknya memberi ucap yang menohoknya. Tio diam, membiarkan Evi puas menangis, tak lama, ia tertidur.

..........

Waktu yang berlalu, memotret proses hidup di dalamnya. Bersama diary yang penuh tetesan air mata, mulai mengering dan berdebu.

Diary itu tergeletak di atas meja disamping jendela, lembar-lembarnya terbuka oleh angin, di lembar akhir dari diary itu, tertulis sebuah cerita, ungkapan gadis yang pernah menderita. Menulis dalam kata :

****

Sabtu, 14 februari

Dear diary, begitu lama sudah aku tak menyapamu. Aku sudah berjanji tak lagi menulisimu, tapi aku juga tak tega menutup tugasmu dengan pilu. Aku tak lagi mempermasalahkan Randa dan Anita, sejak saat itu aku mencoba bersikap wajar dan akhirnya mereka mengakuinya. Aku tidak terkejut, dan aku bersiap cuek saja. Aku akan mengoretkan senyum untukmu, kejadian dahulu membuatku lebih dewasa. Dan kuselipkan saja untukmu hadiah karena menemaniku.

Terima kasih.
Salamku untuk diariku, Evi


****

Tertempel di bawah tulisan tersebut, sebuah foto kecil, dengan gambar seorang laki-laki dan perempuan yang tengah bergandeng dan tersenyum, dibawah foto itu tertulis:

February, 14th
Happy wedding: 
TIO - EVI

Diary itu kembali tertutup oleh angin, tertutup dengan senyum. Sesuatu yang tiada duga.