Tak ada yang berbeda di keseharian aktivitas mahasiswa di gazebo terbuka belakang gedung salah satu fakultas di kampus ini. Kebanyakan di tempat nyaman itu memang menghabiskan waktunya untuk bersantai menanti kelas selanjutnya. Entah mengobrol, sibuk dengan handphone masing-masing, menghisap batang rokok, sibuk menyelesaikan tugas kuliah yang hanya tersisa lima menit sudah harus dikumpulkan, ataupun sibuk melamun menatap tetes-tetes air yang jatuh dari ranting pohon, dari sisa-sisa hujan yang baru saja usai.

“Maksudmu apa? maumu apa? hah !?“
“Lha? Bukannya barusan kubilang?“ 
“Kamu bercanda kan, barusan?“ 
“Ayolah sob! Masa aku bercanda?”

Di antara latar segala pikuk di gazebo itu, dua orang laki-laki yang bersahabat tengah berbincang hangat, dan semakin jarum jam berdetik, kian terlampau panas obrolan mereka. Ya, lelaki yang bertanya dengan nada meninggi serta menahan geram adalah Irwan. Dan lelaki yang menjawabnya santai, bahkan terdengar kurang ajar di telinga Irwan, adalah Faldy.

“Gimana, Wan? Pacarmu itu lho, yang kamu kenalin aku kemarin, Riana, kayanya aku suka sama dia. Gimana nih Wan, aku harus apa?“. Tambah Faldy lancang dengan mata dan senyum sinis yang menyebalkan, kedua pundaknya pun ia naikkan.

Irwan kian panas, emosinya kian membuncah, meriak. Sudah tentu ucap Faldy barusan memprovokasi hati Irwan. Bahkan jika ada malaikat dan setan yang terbang di pundak kanan dan kiri seperti yang sering muncul pada cerita kartun atau animasi, sang malaikat mungkin dengan sengau berujar “ Sesukamu saja, bunuh sekalian. “ dan setan yang tersenyum, mengasah tombak mata tiganya.

Sebenarnya Irwan sudah begitu paham, tentang lika-liku Faldy . Mereka akrab sejak kelas 3 SMA, dan masuk ke universitas serta jurusan yang sama. Faldy adalah sosok cerdas, tampan dan angkuh, daya tariknya yang tinggi membuat ia besar kepala, merasa mampu mendapat hati siapa saja dan sebagian kawannya menganggapnya gila. Ia dikenal sebagai pembuai hati perempuan sekaligus iblis bagi mereka kaum hawa. Ia yang sudah berkali gonta-ganti kekasih bahkan tidak ingat jelas siapa saja yang pernah ia pacari. Hampir tidak pernah serius dan main-main saja. Dan jika bosan, ia tinggalkan begitu saja. Ia juga tidak segan dan enteng untuk merebut kekasih orang lain yang disukainya. Otaknya yang pintar dalam akademik maupun keseharian, berbanding terbalik dengan kelakuannya yang liar.

Dan Irwan, baru saja menyadari bahwa mengenalkan Riana, kekasih barunya kepada Faldy adalah kesalahan besar. Faldy sudah tidak lagi peduli Irwan adalah sobatnya, sebaliknya justru Faldy terang-terangan menyatakan kalau ia juuga menyukai Riana. Kelancangan yang juga menantang, mungkin.

Hal lain yang Irwan kenal dari keakrabannya dengan Faldy, adalah mata. Dari sana Irwan melihat, Faldy tidak sedang bercanda.

“Kamu cari mati?”

Irwan benar-benar marah, ia kepalkan tangannya mengumpulkan tenaga yang lahir dari amarahnya. Nafasnya ia tarik dalam dan dihembus cepat, kepalanya panas, terlebih telinganya, matanya yang melihat picingan mata Faldy turut menyumbang geram, dan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Irwan.

”Kenapa? Ya kalau kamu mau hajar aku, hajar silakan... pukul sekarang, tapi aku langsung datangi Riana, bilang kalau kamu sudah kasih dia ke aku. Atau kamu mau aku main sehat. Aku kejar Riana, deketin dia, dan kamu bentengi saja dia.. Gimana?“

Faldy memainkan emosi Irwan, tantangan konyol seperti ini bisa membawa Irwan pada alur permainan Faldy, ia sudah bisa mengira, kalau orang emosi seperti Irwan akan memilih salah satu dari pilihan yang diajukan Faldy. 

“Ya sudah, sana!”

Irwan dengan nada geram dan penuh emosi, nampaknya telah memilih untuk membiarkan Faldy mendekati Riana. Irwan begitu yakin Riana tidak akan goyah dan jatuh ke pelukan lelaki kurang ajar di sampingnya ini. Di sisi lain Faldy kian tersenyum lebar, nampaknya ia akan segera dapat pacar baru lagi.


****

Senja sudah berpamit usai menuntas tugasnya membenam rentetan fajar hingga terik hari. Pun ia melangkah menepuk pundak bulan yang berpapasan dengannya hendak berganti giliran tugas. Dan bulan telah duduk pada tempat nyamannya, di antara debu-debu dan asap kendaraan yang naik dari bawah, sedikit mengganggu nafas dan memerihkan matanya pada tugasnya menerangi malam kali ini. 

Jauh di bawahnya, gadis yang terkenal manis tengah berdiri seraya sesekali melirik jam yang terkalung di lengan kirinya. Ialah Riana, yang nampaknya malam ini akan pergi keluar bersama Irwan.

“Hai, Na...” suara lelaki mengejutkannya.
“Faldy? Ngapain di sini?” jawab Riana kepada lelaki yang ternyata, adalah Faldy.
“Lho? Irwan nggak kasih tahu ya?” balas Faldy.
“Kasih tahu apa?” Riana penasaran.
“Irwan kan bolehin aku deketin kamu. Dia setuju aku boleh deketin kamu dan dia tinggal jaga kamu dari aku, itu aja.. “ ujar Faldy dengan ceplas-ceplos khasnya.
”Maksud kalian itu apa, Dy? Faldy, Irwan kan teman kamu.. “ balas Riana yang terkejut.

Hati Faldy mengembang, senyum liciknya membuka kembali. Di telinganya, kata-kata “Irwan kan teman kamu..” yang diucapkan Riana memiliki arti “Sebenarnya aku mau, tapi aku sudah ada Irwan, dan Irwan temanmu. Aku tidak enak. “
Faldy merasa jalannya akan sangat mulus. Andai Riana dengan lantang mengucap bahwa ia tidak membolehkan lelaki lain mendekati hatinya lagi, mungkin Faldy akan mencoba memakai cara lain. Yang jelas, apapun jawabannya, Riana sudah dalam lingkup perangkap Faldy yang begitu menjerat. Hingga sulit untuk lepas darinya.

“Kamu ngapain di sini?” ada suara mengejutkan mereka
“Ah, Irwan... Dah, Riana.. aku balik dulu, ntar aku telpon ya...” ujar Fadly yang sesaat menoleh lalu berpamit dan berlalu pergi.

Irwan yang baru saja datang. Raut wajahnya tidak menunjukkan keramahan sama sekali, kemarahan yang bercampur dengan rasa tidak percaya, bahwa Faldy benar-benar melakukannya. Sebagai penanda, bahwa tidak ada lagi toleransi kebaikan hati untuk Faldy. Matanya menatap tajam dengan penuh benci, dendam dan gusar. Riana diam saja, ia gugup, takut, dan juga sedikit bingung. Irwan hanya menatap Riana yang berdiri menunduk, merangkul pundaknya, lalu pergi. Tanpa sepatah kata.

Mereka pergi ke sebuah cafe, mungkin selain berkencan, Irwan hendak bermaksud membicarakan Faldy kepada Riana. Jelas Irwan begitu khawatir, meski Riana adalah kekasihnya, ia dihadapkan lawan yang berbahaya, nekat, dan tidak tahu diri. Kencan yang seharusnya penuh kemesraan dan romansa itu justru menjadi pembicaraan yang gelap, serius, dan berat. Irwan nampak begitu kebingungan atas keputusan yang ia buat, membuatnya tak leluasa. Sedang di sisi lain ia harus menjaga kebebasan Riana, sebab Irwan khawatir jika ia terlalu kelewatan membatas Riana, justru Riana akan merasa tidak nyaman dan hatinya akan mudah digoyahkan oleh Faldy. Riana mengerti, tapi keadaan ini benar-benar membuatnya bingung. Sangat kebingungan.

“Jadi mulai sekarang aku bakal periksa semua SMS, inbox, sama log panggilanmu. S-E-M-U-A!“ ucap Irwan di sela bicaranya dengan Riana.
“Kenapa gitu? Aku bukan anak kecil, Wan. Aku bisa jauhin dia kok. Kamu percaya sama aku, kan?“ balas Riana.
“Bukan gitu Riana, aku percaya kamu. Cuma jaga-jaga.” Irwan membela diri.
“Sama aja, kan? Kamu nggak percaya aku.” Tambah Riana.
“Kamu kenapa, Na? Cuma periksa gitu ngotot nggak mau. Atau kamu memang sembunyiin sesuatu?” Ujar Irwan dengan nada meninggi.
“Seenaknya! Kamu yang ngotot! Kenapa kamu kaya gini? Aku sama sekali nggak sembunyiin apa-apa? Jangan ngekang aku, Wan!” balas Riana tak mau kalah.

Irwan tidak melanjutkan kata-katanya, ia mulai menyadari emosinya kembali naik. Orang-orang di cafe dengan kepura-puraan mereka terkadang melirik ke meja Irwan dan Riana yang bernuansa pertengkaran. Irwan mengacak rambutnya sendiri, panas, dan bingung. Tanpa sepatah katapun, ia beranjak meninggalkan cafe sendirian. Riana yang juga emosi, membiarkan dan kebingungan sendiri di mejanya.

“Kamu sudah paham, kan? Ketika laki-laki dan perempuan saling beradu ego, maka hal yang tentu menjadi awal adalah pikiran untuk memenangkan ego masing-masing, dan takkan berhenti sebelum salah satunya mengalah.“

Riana terkejut mendengar kalimat yang mendadak muncul tersebut. Faldy datang dan duduk di hadapan Riana, di kursi yang sebelumnya ditempati oleh Irwan.

“Kamu lagi, ngapain ke sini?” Tanya Riana yang nampak geram dengan kehadiran Faldy.
“Aku dari tadi di sini, duduk di meja di sebelah sana.” jawab Faldy seraya menunjuk salah satu meja.

Meski memang sudah sejak awal Faldy sudah tahu, bahwa Riana dan Irwan akan ke cafe tersebut. Faldy sengaja membuatnya “tak sengaja” bertemu Riana, selalu. Dan pertengkaran mereka barusan, mungkin telah menjadi satu poin dari deretan skenario mendapatkan Riana dalam agenda liciknya.

“Kenapa di antara kami, kamu muncul?”

Ucap yang dilontar Riana dengan wajah peluh, murung kepada Faldy di hadapannya kini. Lelaki yang muncul seperti benalu yang tumbuh di bunga lily, tepat di kelopaknya. Atau seperti hama wereng yang mengacau cinta petani dan sawahnya. Padanan hati yang mulai terhambur dari kisah Irwan dan Riana, nampaknya mulai berhasil dilakukan Faldy. Hubungan Riana dan Irwan yang belum sampai dua minggu, mudah sekali untuk digempakan keras oleh Faldy.

“Aku muncul, sebab Irwan yang membolehkanku. Aku sudah jelas mengatakan tadi, bahwa aku ingin mendekatimu. Aku tak perlu menutup apapun, terang-terangan saja. Aku menyukaimu, hanya Irwan sudah merengkuh dirimu lebih dulu. Apa dengan begitu, orang lain yang menaruh hati padamu sebelum itu, padam begitu saja dan hilang? Aku tahu, kamu sudah mengetahui perilakuku terhadap gadis yang kusukai. Jadi sedikit sulit mungkin meyakinkanmu macam-macam. Hanya saja, aku punya keyaninan, bahwa sepantasnya hatimu. Dititipkan padaku. “

Riana, antara mendengar, sayup mendengar, ataupun tak mendengar sama sekali kata-kata barusan yang memang terasa begitu gombal. Sebab Riana tetap, murung. Tapi setidaknya, ia mulai merasa jika Faldy sang masalah, adalah pintu keluar dari masalah itu sendiri. Memang, Riana mulai membayang suatu pertaruhan. Dalam pikirannya terbesit, ia akan memasukkan Faldy sebagai salah satu dari pengisi hatinya. Entah itu pintu keluar, atau justru pintu masuk ke masalah yang lebih besar.

Faldy merengkuh tangannya, Riana tetap tak bergeming tanpa ekspresi yang berbeda. Jemarinya kian dimainkan Faldy, dan ia begitu kosong saat Faldy menatap matanya dalam. Entah bagaimana itu menghanyut, malam itu, Riana setuju untuk diantarkan pulang oleh Faldy.

****

Gazebo, kembali menjadi saksi dua orang tengah saling bantah, saling bela. Masing-masing dari mereka mencoba untuk saling meyakinkan. Irwan dan Riana, kejadian semalam sepertinya memberi bekas yang panjang. Riana yang kesal pada Irwan yang pergi begitu saja. Sementara Irwan masih sangat kesulitan membuat Riana menerima permintaan maafnya.

“Ya sudah, yang penting kan Riana pulang dengan aman. Tanpa luka tanpa lecet.“

Irwan dan Riana menoleh, bisa ditebak siapa pemilik suara itu. Faldy, yang lagi-lagi mencampuri perkara mereka.

“Setan! Ngapain lagi kamu di sini, hah?“ bentak Irwan.
“Sabar bang, harusnya terima kasih dong.. sudah kugantikan tugasmu ngantar Riana pulang.” Jawab Faldy masih dengan nada remehnya.

Irwan terhenyak, ia terkejut, memalingkan pandangannya pada Riana. Riana menunduk, kembali ia palingkan wajahnya pada Faldy. Mukanya memerah panas, emosi meletup mengalir pada darah dan masuk ke otak yang menyambung pada syarafnya. Tak tertahan, tinjunya melayang pada Fadly dan dengan spontan Faldy menyilang lengan di depan wajahnya, menangkis pukulan Irwan. Faldy tidak membalas, sedang pukulan bertubi masuk pada tubuhnya. Riana mencoba melerai, namun ia justru tersikut Irwan yang sudah gelap mata untuk menghajar Faldy. Ia tersungkur, beberapa orang menghampiri dan membantunya berdiri. Makin ramai di gazebo tersebut orang berkumpul. Beberapa mencoba melerai, sisanya menonton dan menyoraki. Irwan tak bisa dihentikan, ia mengambil bongkah batu, menghantamkannya bertubi pada Faldy. Faldy terus menutupi wajahnya dengan kedua lengannya, tanpa perlawanan.

Tak lama tiga orang satpam datang dan memisahkan mereka. Irwan masih mendengus geram. Faldy sendiri menunduk kelelahan dengan lebam yang nampak di sekujur tubuhnya. Di antara pikuk, sesaat bibir Faldy menyunggingkan senyum. Pun hatinya, tersenyum lebar.

****

Keadilan adalah omong kosong besar. Apa yang tampak itulah yang disodorkan, tanpa turut menimbang yang kasat, tanpa mengawang muslihat di dalamnya. Setidaknya itu yang tengah dirasakan Irwan sekarang, ia benar-benar tidak percaya ada manusian se-iblis Faldy. Tak puas merusak hubungannya dengan Riana, dibesarkan pula masalah yang semula berupa riak. Pasal 184 KUHP tentang perkelahian satu lawan satu dan berbagai pertimbangan yang memacu palu itu diketukkan. Vonis penjara dijatuhkan pada Irwan ditandai pula dengan keterpaksaan saksi mengakui kebenarannya. Para saksi yang tak lain mahasiswa yang berada di gazebo ketika perkelahian. Kebanyakan mereka tahu Faldy dan tidak menyukainya. Hanya saja, kebenaran yang terjadi adalah Faldy yang seolah tidak mampu melawan Irwan, seolah ialah korban yang tak berdaya.

Irwan tak tentu galaunya. Dalam kepalanya ia melihat Faldy menertawakan dirinya di balik jeruji besi, pun Riana yang tak lagi mau memandangnya. Galaunya bertambah ketika ia melihat kenyataan, dikeluarkannya ia dari universitasnya, ditambah pula catatan hukumnya yang membuatnya tak akan menerima Surat Tanda Berkeluakuan Baik dimana akan menghalangi kehidupannya kelak. Ia merasa hidupnya hancur.

“KEPARAT!! SINI KAU! PUASKAH SUDAH? PUAS?? “ Irwan mendadak berdiri dari kursi terdakwanya, menunjuk dendam pada Faldy. Meski petugas menahannya saat ia ingin melangkah menuju tempat Faldy.

“Kamu tak ada pantasnya disebut manusia! Aku tak bisa bayangkan apa yang bakal kau lakukan pada Riana! Lihat saja! Dia tak layak denganmu! “ tambah Irwan.

“Oh ya? Layak seperti apakah? Kau pikir dirimu selayak apa? Wahai sobat psikopat, yang menentukan seseorang layak atau tidak untuknya, adalah keyakinan hatinya sendiri, bukan kau!” Faldy terpancing, kali ini dia merasa bebas bicara.

“Keyakinan hati bukan suatu yang mutlak, bung! Contohnya sialan sepertimu! Dengan banyak cara busukmu kau mainkan keyakinan hati mereka yang kau inginkan. Tapi tidak untuk nurani mereka! Kau tidak bisa mempermainkannya, terlebih menipunya! Kau pikir cinta, hati, dan perasaan itu untuk main-main, hah?” balas Irwan.

“Persetan! Tahu apa kau soal cinta? Sejauh apa kau bisa bicara nurani? Sedang nuranimu sendiripun sering kau acuhkan tanpa sadar. Mereka juga bicara, sobat! Bicara! Dan aku mampu membungkam tiap nurani itu. Segala yang kulalui adalah perjanjianku dengan nurani, hingga kelak kutemui kesejatian hati!” Faldy balik menyerang.

“Konyol! Kata-katamu buatku muak! Takkan pernah kau temukan kesejatian hati yang kau maksud selama kau mainkan terus perasaan orang lain. Kesejatian tak sama dengan kepemilikan, dan cara kotormu adalah cara untuk memiliki demi kepuasanmu saja! Nuranimu bahkan menyesali keberadaannya bersama orang sepertimu, tuan munafik!” ujar Irwan lantang.

“Jangan sok bicara! Kau adalah kau dan kau tak tahu sedikitpun soal aku! Buatku memiliki adalah keharusan dalam cinta, bagaimanapun itu, atau kau siksa hatimu dengan suatu hampa. Hampa yang menganga dan luka bisa masuk kapan saja!” kembali Faldy melawan.

“Lalu kenapa harus Riana? Harus kekasih orang lain? Begitu parahkah dirimu mencari orang hingga kau ingin miliki kekasih orang? Kau tak tahu rasanya!” Irwan terus membalas.

“Kau sendiri tahu rasanya jadi aku? Ketika orang yang begitu kau cinta lebih dahulu direngkuh orang lain? Mengalihkan hati, lalu melupakan kesan lama? Kau pikir semudah itu? Berarti sama saja mempermainkan perasaan, mempermainkan hati sendiri! Bukankah itu kata-katamu barusan? Sama saja, kau munafik!” hujam Faldy.

Adu mulut itu terus berlanjut dan tentu membuat ruang sidang riuh dari peserta sidang dan petugas segera membawa Irwan ke selnya, di antara mereka Riana hanya menangis dan beberapa temannya mencoba menenangkan. Entah apa yang membuat kisah hidupnya seperti ini. Dia tidak tahu dipersimpangan mana ia salah melangkah, dan parahnya, ia tak tahu harus apa.

Faldy yang melangkah pelan menuju Riana, memegang kepala Riana, lalu memeluknya. Riana masih tersedu, ia tak percaya dengan semua yang dialami. Satu hal yang pasti, bahkan disadari atau tidak, Faldy sudah menjadi kekasihnya saat itu juga.

****

Malam, selalu berkisah tentang bintang, bulan, dan mimpi. Kadang pula tentang sunyi dan kelam. Dan malam, berkisah pula tentang kali ini, di balik atap biru tua tempat Riana tinggal. Di ruang keluarga, di depan televisi Faldy tengah merangkul Riana.

Lebih setahun sudah sejak kejadian yang melibatkan tiga hati tersebut. Lebih setahun, menandakan kali ini Faldy benar-benar serius akan hatinya dengan Riana. Sebab jauh sebelum ini, Faldy selalu main-main dalam hubungannya. Kurang dari sebulan, bahkan seminggu, telah ia tinggalkan kekasihnya.

“Fal, belakangan aku keinget kejadian dulu. Kejadian Irwan, entah kenapa.” Ucap Riana di tengah mesra mereka.
“Kamu ga usah ingat-ingat lagi, kamu cuma trauma. Lupakanlah, aku sedikit khawatir ingatan kecil seperti itu mampu mengganggu kita.” Ujar Faldy seraya membelai rambut Riana. 
“Tapi, kamu tahu, kan? Siapa yang buat trauma itu..” lanjut Riana.
“Maksudmu? Kau rindu si Irwan itu? Menyalahkan aku?” ujar Faldy, mendadak cemburunya terpancing.
“Maaf Fal, tapi iya.. andai kamu tidak hadir di antara kami, mungkin aku sekarang tidak berada dalam sebuah kesakitan gara-gara masa lalu.” Aku Riana.

PLAKK!!

Faldy melayangkan telapak tangannya keras pada Riana. Cemburunya terbakar, tanpa pikir panjang itu ia lakukan.

Faldy lalu membekap mulut Riana dengan tangannya, ia tampar lagi pipi kiri Riana, Riana menangis. Tapi Faldy justru mendorongnya hingga Riana terbaring ke sisi sofa. Riana berontak, meski tak bisa apa-apa setelah menyadari Faldy mulai melepas satu persatu kancing bajunya. Riana memberontak lagi, namun Faldy lebih garang. Bola matanya kosong, terisi amarah, dendam, dan nafsu. Riana tak mampu pula untuk berteriak.

“URRRGGHH..!!!” Mendadak suara Faldy tertahan, di lehernya terkalung sebuah tali. Ia tak bisa menoleh, Riana terkejut. Irwan mengencangkan cekikan talinya di leher Faldy dari belakang.

“Ka...kamu..sii..ugghh!!” kata Faldy terbata, wajahnya makin memerah.
“Maaf, Faldy. Ini tentang Riana, aku menirumu boleh, ya? Aku suka dia, dan aku tahu aku harus apa.” Ucap Irwan dengan senyum sadisnya. Ia memang sudah bebas dari hukuman penjaranya. Nafsu membunuhnya muncul ketika menyadari keberadaan Faldy di rumah Riana ketika ia ingin mengunjungi Riana.

Irwan mengencangkan cekikan talinya, Faldy tak lagi bicara. Ya, ia tak lagi bernafas. Sedang Riana, masih dengan air mata yang menggenang, menatap takut Irwan, ia hendak teriak, tapi mulutnya dibungkam kembali. Kali ini bibir Irwan yang membungkamnya. Dan malam itu, menjadi malam paling hening. Bersama mayat yang tak lagi bisa melihat, apa yang pembunuhnya lakukan pada kekasihnya, dan tak tahu lagi...
...harus berbuat apa.