Air itu mengalir lembut, pada wadahnya di sungai kecil dimana terlentang jembatan kecil di tengahnya. Sedang di atasnya, gadis berambut hitam itu tengah merenung. Diam memandangi wajahnya yang terpantul di sana, dengan syal yang hangat melilit lehernya.

Celia namanya, masih saja menatap kosong muka sungai yang makin mengeruh karena dingin. Pula titik-titik salju yang turun ke pundaknya, kian menumpuk pada pundak jaket tebalnya tersebut. Pun ia seolah tiada mendengar sama sekali musik-musik natal yang berlalu-lalang dari tenda-tenda penjual, toko, maupun rumah-rumah di sekitarnya. Saat ini ia memang ingin sendiri, namun kini ia terlalu sendiri.

Ada secarik kertas yang ia genggam, secarik surat! Surat itu yang memang membuatnya begitu bimbang. Yang bahkan ia sendiri tak tahu, mengapa ia harus bimbang. Dan itu dimulai dua hari lalu, 23 desember.

****

“ Kamu bener mau pergi besok? “

“ Iya, maaf ya mendadak baru kasih tahu sekarang...”

“ Ma.....maksudku, bagaimana dengan jawabanmu?“

“ Jawaban? ”



“ Celia..... kamu tidak lupa kan...?”

“ Emm.....“



Laki-laki itu bernama Adit, Celia dan Adit berteman sejak SMP dan dengan cepatnya mereka akrab. Adit yang begitu mudah bergaul dan memiliki kepribadian yang memang membuat orang lain merasa mudah akrab dengannya. Dan di bilik hatinya yang memang terbuka, ada suatu yang tak mudah nampak. Perasaannya, sebuah perasaan terhadap Celia.

Celia masih bungkam, ia galau dan tak tahu apa yang harus ia katakan pada lelaki di depannya ini. Ya, Adit begitu menyukai Celia dan tengah menanti sebuah jawaban dari Celia. Benar, sebelumnya Adit menyatakan perasaannya kepada Celia. Sebenarnya Celia pun sudah lama tahu akan perasaan Adit padanya. Bahkan tak dipungkiri, Celia memiliki rasa yang tak jauh beda kepada Adit. Hanya saja, suatu dilematika memeluk pikirannya hingga hingga kini mereka tak bersatu pula.

Celia menggenggam kalung salib yang menggantung di lehernya. Adit menatapnya sayu, seolah ia mengerti, Celia tengah menunjukkan bahwa ia tak bisa menerima Adit untuk bersamanya, satu. Dan inilah, yang menyekatkan mereka. Keyakinan yang berbeda, dan tak ada yang mencoba menyalahkan sesuatu. Sebab, tidak ada yang mereka sanggup salahkan, apapun itu. Satu sisi Adit tidak peduli dan mencoba memaklumi perbedaan itu dan terus maju untuk pujaan hatinya itu. Bertolak dengan Celia, hal seperti ini jauh berbeda dari prinsipnya, yaitu memiliki seseorang yang seiman dengannya. Dan itu menekan perasaannya sendiri.

Adit tersenyum dan membelai rambut Celia yang tengah tertunduk, dan tanpa bicara ia berlalu, pergi. Adit begitu mengerti posisinya yang sudah tidak mungkin lagi. Namun apa salahnya mencoba? Dan ia hampir kehabisan waktu lagi. Celia akan pergi, berangkat ke London. Bukan sekedar untuk merayakan natal di sana bersama kakaknya yang bekerja di sana. Ia pun akan melanjutkan pendidikannya di sana. Dan berarti, mereka akan terpisah jauh.

Adit kian melangkah menjauh, Celia hendak memanggilnya. Namun suaranya tak mampu keluar, ia sungguh kebingungan. Dan Adit sudah tak ingin menoleh, ia mengerti Celia, ia mengerti.

.....

Handphone Celia tergeletak di tempat tidurnya, dan Celia sendiri tengah memandanginya. Ia baru saja membiarkan handphonenya berdering tanpa ia angkat sekalipun. Dapat ditebak penelpon itu adalah Adit. Tak lama muncul sebuah pesan singkat di sana :

Adit
+628910009976
22-Des 20:29


Kau tahu? aku terlanjur memilihmu, sayang waktu tidak mau tahu...

Itu saja


Celia memutuskan untuk membalasnya, ia berpikir sejenak lalu sampailah balasan di pesan masuk milik Adit.

Celia
+6287738904982


Aku tahu, tapi malam terlanjur jadi malam, dan siang terlanjur menjadi siang. Mereka tak bisa saling bersatu, kan? Setiap gelap, jika ada cahaya, gelap itu akan sirna, mereka hilang......

Adit sangat begitu mengerti maksudnya, ia sebenarnya tidak ingin membalas lagi. Sebab ia telah tahu jawab atas dari semua tanyanya. Ia memikirkan sesuatu, dan membalas pesan Celia dengan begitu singkat.

Adit
+628910009976


Ya, dan kau luput sesuatu...
met tidur ya...


Celia tidak mengerti maksudnya, namun ia mencukupi pesan di sana. Ia tidak membalas lagi, pikirannya begitu galau. Ia menuju kopernya dan mulai mengemas apa saja yang perlu dia bawa untuk kepergiannya ke London esok hari. Ia pun mengemas pikirnya. Melepas kenangnya selama di Indonesia, melepas harinya dengan Adit. Ia takkan mampu melupakannya.

....
Hari itu pun tiba, dan Celia akan berangkat malam nanti. Dengan pesawat menuju Singapura dilanjutkan ke London. Dalam hatinya tetap galau, dan ia ingin bertemu Adit sekali lagi, meski ia sendiri belum tahu apa yang akan ia lakukan setelah bertemu Adit lagi. Celia mengambil kunci mobilnya dan pergi mencari Adit, dalam kepalanya tetap tidak mengerti untuk apa ia ingin bertemu Adit, sengaja ia tidak ingin memberi tahu Adit terlebih dahulu lewat telepon maupun sms-nya. Celia masih memikirkan perasaan Adit, ia takut Adit yang telah ia kecewakan justru semakin berbeda sikapnya pada Celia nanti.

Matahari masih menyisa embun-embun dari terik paginya, menempel pada dedaunan, kelopak bunga, dan membercak di muka jendela. Adit mengusap embun itu dari kaca mobilnya, nampaknya ia tidak ingin perpisahannya dengan Celia berakhir seperti semalam. Ia ingin bertemu Celia sekali lagi, ia tidak peduli nanti Celia bersikap tak acuh padanya, atau justru memintanya untuk tidak mendekati Celia lagi, melenyap semua pikiran tentangnya, dan berlalu begitu saja, menjadi sebuah kenangan yang terbingkai rapi dan tergantung di sudut dinding memorinya. Adit pun berangkat mencari Celia di rumahnya.

Jingle bell
Jingle bell

Jingle all the way


Musik bernuansa natal keluar dari radio mobil Celia. Suasana natal makin terasa untuknya, menandai beberapa kelunya. Tentang ceria yang didapatnya tiap tahun dalam tiap kisah natalnya, tentang kepergiannya dari Indonesia untuk waktu yang tentu akan lama, pula tentang Adit. Air wajahnya berubah sayu kala pikiran tentang Adit mengecup hatinya. Lengannya mengusap air mata yang bahkan tidak keluar dari matanya, apalagi menetes. Galaunya kian menetes, mungkin itu.

....

“ Oh... non Celia lagi keluar den.... “

“ lho? Kemana?”

“ Mbok ga tau den, udah dari tadi ”

“ Dia bilang pulangnya jam berapa? “

“ Ngga den... yang pasti sore nanti non bakal balik dulu buat berangkat ke London nanti malam.... “

Adit kebingungan, di rumah Celia ia hanya di sambut oleh mbok Sumi, yang mengabar bahwa Celia tengah pergi. Adit mengeluarkan handphonenya dan menekan nomor Celia, namun mendadak ia terdiam, mengurung niatnya. Ia tahu, ia tahu yang mungkin akan terjadi, Celia bisa justru me-reject telepon darinya, atau bahkan tidak ingin memberi tahu dimana dia dan tak mau untuk ditemui.

“ Makasih ya mbok.... “



Adit kembali ke mobilnya dan mengira-ngira kemana Celia pergi, ia memutuskan untuk mencarinya di rumah teman-temannya.
....

Rumah itu kedap dan sunyi, tidak ada yang menyahut dari dalam sana. Ketukan pintu maupun suara yang memanggil-manggil itu tiada jawab yang keluar dari sana. Memang sejak awal Celia menyadari bahwa tidak ada siapapun di rumah itu. Sebab mobil Adit tidak ada di sana. Adit memang tinggal sendiri, orang tuanya ada di luar kota, dan rumah itu terkunci rapat. Celia putus asa dan kembali ke mobilnya.

“ kemana kamu, Dit? “. Gumamnya dalam hati.

Celia nampak kebingungan dimana ia mencari Adit, setahunya jam seperti ini Adit masih santai di rumahnya. Celia pun memutuskan pergi ke tempat yang sering didatangi Adit, mungkin Adit ada disana.

“ kenapa aku merepotkan diri seperti ini? “. Celia masih membingungkan diri mengapa sebegitu inginnya ia menemui Adit sekali lagi hingga mencarinya seperti ini.

......


....

Angin yang saling bermain, menerbang rambut ringan yang merekat pada kepala Adit, ia kembali melangkah ke mobilnya dengan gontai. Tak ia temui hasil dari rumah teman-teman Celia, semua tidak ada yang tahu kemana Celia. Adit memutuskan pulang, ia berpikir akan menemui Celia nanti sore sebelum dia berangkat.

Sementara Celia, tidak menemukan Adit di tempat yang ia kira sering didatangi Adit, ia masih sangat gengsi untuk menghubungi Adit.
“ ah, buat apa aku repot mencarinya? Dia pasti sudah ga peduli sama aku, kalau memang dia mengejarku, pasti ia yang mencariku! “

Roda mobil itu pun berputar membawa Celia dan mobilnya kembali ke rumahnya, Celia memilih untuk menyiapkan diri pada keberangkatannya sore nanti agar tidak terlambat sampai di bandara.
....



Waktu yang melangkah begitu ringan, meninggal jejak detik-detik hari yang kian cepat. Kecuali bagi Adit dan Celia, keduanya tenggelam dalam waktu yang begitu lambat mereka selami. Pikiran merekalah yang ditunggangi, begitu pelan melangkah, lambat, dan begitu lambat.

Sore yang hadir begitu cepat, semua barang Celia sudah masuk ke mobil. Celia masih begitu cantik dengan penampilannya meski rautnya masih saja terenung, ia membingungkan apa yang harus ia bingungkan. Sopir kepercayaan ayahnya pun melajukan mobil menuju bandara mengantar putri majikannya yang jelita ini.

“ Wah, Den! Telat.... non Celia udah berangkat tadi ke bandara....”


“ sudah berangkat? Dari tadi? “



“ Iya sih den, sudah agak lama....”



Adit terlambat lagi, ia baru saja tiba di rumah Celia. Tanpa berpikir lagi ia melajukan mobilnya menuju bandara, ia tahu Celia berangkat dengan pesawat malam, sebisa mungkin ia sempat menemuinya. Perjalanan cukup panjang dan melelahkan dilalui Adit tanpa terasa, ia memarkirkan mobil dan mencari Celia di bandara dengan segera. Sementara Celia, tengah menikmati teh hangat di salah satu cafe di sana.

Entah seberapa luas bandara keberangkatan internasional itu hingga tak bisa mempertemukan dua hati yang bertaut namun bertolak ini dihadapkan. Setelah menikmati minumannya, Celia pun berkeliling di bandara dahulu untuk menghilangkan penat sebelum akhirnya ia akan memutuskan masuk ke ruang tunggu di dalam.


....


Dalam riuh bandara, ada derap langkah yang terhenti diantara berpasang kaki yang menjejak di sana. Mereka berhadap, saling memandang dengan sama-sama terkejut. Tak ada suara yang keluar dari bibir raga yang saling berhadapan itu kini.
Adit sangat terkejut, terlebih Celia. Usaha Adit mencari Celia memberikan hasil, bidadari yang dipujanya kini ada dihadapannya. Celia tidak percaya siapa yang berdiri di depannya kini. Mereka berpapas dalam diam, di depan pintu masuk menuju dalam keberangkatan internasional sebelum Celia melapor tiket dan menuju ruang tunggu. Ya, akhirnya mereka bertemu.

Pandangan dalam namun kosong tengah beradu di antara mereka. Mereka terpaku dalam waktu dan ruang yang hanya mereka berdua, lalu lalang ratusan manusia di sana tidak mereka rasakan. Adit melangkah ke arah Celia, begitupun Celia yang melepas langkah menuju Adit. Namun mereka tidak saling menyapa, apalagi bersentuh. Tidak ada kata dan suara yang keluar dari mereka, mereka hanya saling berlalu, pencarian seolah tiada arti, mereka dihadapkan hanya untuk saling berpandang.

Dalam papas itu, Adit menyelipkan amplop yang ia lipat sedikit ke sela tas yang menggantung di pundak Celia, tanpa Celia tahu. Dan hari itu berlalu begitu saja. Pertemuan kosong, Celia berangkat ke London dengan perasaan yang tak menentu, begitu pula Adit. Mereka hanya tenggelam dalam diam.


....

Celia menyadari ada sesuatu yang menyelip di tasnya di dalam pesawat. Sebuah surat, dan salib berwarna perak yang memantul bayangnya di sana! Air mata nampak hendak keluar dari kelopak matanya. Surat itu ia baca berulang sepanjang perjalanan.

Dan di negeri yang jauh, Celia kembali membuka surat itu, membacanya lagi. Seolah tak bosan, seolah masih mencari sesuatu di dalam sana. Di atas jembatan kecil pada sebuah taman dimana orang-orang tengah bersantai menanti senja. Taman yang tak jauh dari tempat tinggal Celia di sana.

****

Kembali ke awal kisah, bulir salju yang turun lembut menitik di surat itu. Celia masih membacanya, dan membacanya lagi. Bersama kalung salib yang entah bagaimana dan untuk apa Adit dapatkan untuk ia beri pada bidadari yang tak mungkin ia dapati itu. Di hari ini, tepat 25 desember.

“ Celia, sedang apa kamu? Ayo pulang, rumah sudah ramai tuh... kakak tunggu di rumah. “

Suara itu mengejutkan Celia, itu adalah suara Robert, kakaknya yang lebih dulu berada di London. Celia begitu terkejut, ia segera memasukkan salib itu ke kantongnya sedang surat itu lepas dari genggamannya, surat itu melayang pelan menuju aliran sungai kecil yang hendak membeku yang mengalir di bawah jembatan tempatnya berdiri kini.

“ Ah! Suratnya....!!”

Celia tak mungkin lagi menggapainya, surat itu jatuh pelan di muka air itu. Ia menatapnya sejenak, dengan sedikit air mata. Gontai ia melangkah menuju rumahnya. Tak lama, seorang lelaki berdiri dihadapannya, sedikit mengejutkan Celia.

“ Joseph? Ngapain di situ? Bikin kaget.....”



“ Kaget? Siapa yang mau kagetin kamu? Aku baru nyampe nih, ayo antar aku ke rumah kamu.....”

Joseph berjalan bersama Celia dengan lengan yang melingkar di pinggang Celia. Ya, Joseph adalah kekasih Celia, ia juga orang Indonesia yang tinggal di Inggris. Kekasih yang bahkan tak pernah muncul dalam keseharian Celia, yang bahkan tidak Adit tahu, bahkan Celia tidak pernah bercerita soal orang yang baru memilikinya sehari lalu. Entah mengapa orang ini mendadak muncul dan langsung mendapat tempat di hati Celia. Pelarian kah? Entah...



****



Dalam langkah mereka, salib pemberian Adit dalam kantong Celia perlahan keluar, perlahan demi perlahan dan akhirnya jatuh ke salju yang sudah mulai menumpuk di tanah. Tanpa Celia sadari, salib itu jatuh dan mulai tertutupi oleh salju yang mulai turun dengan deras.

Ada jemari yang memungutinya, jemari yang seharusnya tak asing bagi Celia. Ya, Adit yang memungutinya. Sejak awal Adit memang berada tak jauh dari sana, entah apa maksudnya ia menyusul ke London sedang di sana ia tak pula menyapa Celia, dan saat itu Adit memang duduk di tempat yang sulit untuk Celia lihat, ia hanya memperhatikan Celia darisana, di depannya hanya pemandangan yang membuat pilu.

Adit berjalan dan berhenti tak jauh dari rumah Celia yang memang tak jauh dari taman itu. Jendelanya terbuka dan nampak orang ramai di sana, Celia berdiri bersama Joseph asyik berbincang dengan beberapa orang di sana, di samping pohon natal yang terhias berkelap-kelip di sana. Adit melihat semuanya dari tempatnya berdiri, bersama kalung salib yang ia genggam. Ia tersenyum, mungkin bahagia melihat Celia tetap menikmati natalnya dengan keceriaan, dengan kebahagiaan, terlebih bersama orang yang menempati hatinya. Adit mungkin berpikir seperti itu. Ia lebih senang melihat Celia tersenyum.


....

Sungai kecil, dimana kertas surat dari Adit yang terlepas dari tangan Celia tadi terjatuh, semakin larut perlahan, menenggelamkan pula sebuah kisah yang begitu miris. Kata-kata yang tersemat di sana mulai tak nampak dan lenyap :

“ Aku pernah memetikkan untukmu sebuah embun yang takkan menguap dari pikiranmu, yaitu hati yang seutuhnya untukmu. Kau tahu? apa yang sebenarnya luput dari kata-katamu waktu itu? Adalah tentang siang dan malam yang tak bisa menyatu.

Tak kusalahkan itu, hanya saja aku ingin mengatakan hal yang sedikit berbeda. Yaitu tentang sesuatu yang tak mampu menyatu, namun mereka masih dapat saling berdamping, bukan? Siang dan malam yang tak menyatu, namun mereka memberi hidup dengan saling berdamping.

Bagaimana menyadari tak ada kata terang andai gelap itu tidak ada. Selayak kau memisah pedih dan bahagia, mereka berdamping seimbang untuk menyempurna kehidupan.

Ya, aku takkan pernah bersanding denganmu. Namun kau tahu? aku takkan menyatu bersama pedih untuk melenyapmu dari kepalaku. Biarkan senyum itu hadir. Hadir.

Selamat natal untukmu, gadis....

Dariku : Adit "


Surat itu kian tenggelam, kian hilang. Bersama tumpukan salju di sekitar kaki Adit berpijak, nampak lubang-lubang kecil di sana.

Lubang yang terbentuk oleh tetesan air mata.



--tamat--