sepuluh menit lalu, bidadara. aku baru saja menyeka tawa, menyimpannya lagi di kelenjar mata. sebab ada yang sempat jatuh di sela gelakku, berdenyut-denyut hangat. tak ada yang bisa kutanya itu apa, desir daun-daun melagu dengkur, angin-angin lepur, goyangan rumput pun, bersama hentak-glamor yang mengangguk telah berbaur. ini memang tengah malam, dan kantungmataku kian hitam seharian menampung ketimpangan.

denyut-denyut itu kian memerah, bidadara. aku takut ia pecah lalu menyemburat ilat, gelimpangan hasrat, pula kebodohan yang menggeliat. barangkali memang aku perlu kau, bidadara. bulu-bulu matamu dapat jelma menjadi kelir yang menyulap gerah jadi semilir, atau mewarna bolamatamu sendiri menjadi safir. kali-kali saja bisa kau kuas denyut-denyut itu jadi biru, jadi haru, jadi setenang desir randu.

bidadara, di mimpi saja, kunanti kau menjawabnya. denyut-denyut itu kusimpan di balik bantalku, di bawah kepalaku --yang sarat rela.
semoga saja
semoga
kedatanganmu --bidadara ialah setekuk kabar
denyut-denyut itu ialah rindu yang
selalu ada

seperti biasa


==
Malang 2010
Andi M E Wirambara