Di celah-celah gerimis, biasanya kucari sisa-sisa senyummu yang
Entah ikut hadir, entah turut menitik pelan ke mataku. Hingga lenyap
Fungsinya sebagai indera yang sekedar mampu melihat nyata. Dan kini,
Iring bayang layung rautmu mengalihnya menjadi mata yang mampu menghadir
Lentera siluet-siluet rasa, yang telah lebih dahulu masuk ke pori tanah seolah
Isyarat agar aku senanstiasa menyubur hati, untukmu. Mungkin, kau bisa saja bosan dan 
Anggap aku terlalu bodoh untuk merengkuhmu. Seperti gerimis yang kian deras dan

Aku tetap menaiki balkon rumah lalu menjemur asa. Berharap matahari segera
Nampakkan senyumnya menyibak mendung harapku padamu. Atau seperti kapal kertas yang
Oleng dan berputar di tempat, sebab telah kena riak katak yang melompat ke kolam.
Gusar, tiada kepastian. Kepastian hingga kapan, pun kepastian atas tanyaku, akankah? selalu
Resah saja yang kupertanyakan. Kita mungkin terlalu banyak memiliki sekat 
Akan segala yang membuatku sesak. Sekedar hendak mencintaimu, sekedar itu.

Rumpun kata-kataku mungkin bakal sulit habis, jika kupakaikan untuk mengoret
Impian yang kuselip dalam bait-bait. Puisi. Tentang kau tentu dengan ungkap tertahan
Angkuh egoku yang begitu malumalu mengukir kata "cinta", di alas pasir yang menyisa jejak
Nuansamu. Dan maaf, aku tak peduli sudah dengan cemburu yang bergantian kubuang pada
Ilalang tajam. Sebab hanya bunga-bunga yang pantas kusemat di hati. Kau.