Jika diibaratkan olimpiade, maka dalam rangka mencapai atau mendapatkan hati gadis pujaan, disediakanlah empat medali untuk laki-laki.

Ya, empat, bukan tiga. Medali yang bernilai paling tinggi tentu saja emas. Medali ini hanya disematkan untuk laki-laki yang mendapat hati pujaannya tanpa perlu menyatakan cinta, justru pujaannyalah yang “menembaknya” lebih dulu. Wajar jika disebut pencapaian tertinggi. Lalu ada medali perak, laki-laki yang dikalungi medali ini pantaslah berbangga dan berpuas menikmati debar-debar hatinya, sebab medali ini menandai diterimanya ungkapan hati. Medali ketiga mulai agak pilu, peraih perunggu. Diberikan untuk mereka yang pernyataan cintanya dijawab dengan diam—sehari, seminggu, sebulan, berbulan-bulan—tanpa jawaban pasti. Dan tingkat terbawah dengan hasil paling tragis, ditolak (entah mentah-mentah atau secara halus dan lembut), berhak mendapat medali yang paling miris. Medali aspal!

Andai ruang kejujuranku digeledah, akan kautemui koleksi medaliku. Sebuah medali emas, dua buah perak, dan satu medali perunggu. Medali aspal? Ah, mungkin ini memalukan, namun faktalah yang bicara tentang empat medali paling berdebu itu juga masuk dalam daftar koleksiku. Eit! Jangan berprasangka aku tak laku dulu, empat medali terkutuk itu kuperoleh dari gadis yang sama: Nalia.

Tak ada perempuan paling membingungkan selain Nalia. Entah berapa deret laki-laki yang dilempari medali aspal ke wajahnya—termasuk aku. Tak ada perbedaan berarti antara Nalia dengan perempuan manis lain yang berseliweran di keseharian dan pergaulanku. Entah sikapnya yang mudah akrab atau apalah, yang pasti aku jatuh cinta sunguh-sungguh padanya! Ya, cinta! Bukan jatuh suka, terlebih jatuh naksir. Maka dengan bodohnya aku rela ia banting hatiku. Berkali-kali.

Sekarang aku berencana melakukan kebodohanku yang berikutnya, yaitu mengutarakan perasaanku lagi, menyatakan cinta dan berharap Nalia menerimanya. Meski pedih juga jika kujenguk-jenguk lagi empat medali aspalku yang dulu. Apakah Nalia akan menolakku lagi dan memberikanku medali aspal kelima sepanjang aku menjalani kisah cinta? Mungkin sudah cukup jumlah aspal itu menutupi wajahku yang sudah terlampau malu, lalu aku berbaring di jalan dan terlindas truk yang mengiraku bagian dari aspal jalan, lalu aku mati dengan tragis, kemudian arwahku gentayangan. Ah, bagaimana jika saat aku menggentayanginya, ia tengah berkencan, jalan-jalan, atau makan berdua dengan lelaki yang berhasil mendapatkan hatinya? Bagaimana jika saat itu aku cemburu melihatnya? Rasanya aku mau mati saja, bunuh diri!

Eh, apa orang yang sudah jadi hantu, boleh mati lagi? Boleh bunuh diri?

***

“Jadi..” ucapku gugup.

“Jadi apa?”

“Aku suka kamu, lagi-lagi aku suka kamu. Jadi..”

Air muka Nalia makin datar dan sayu. Kupikir ia tak perlu terkejut karena ini sudah kelima kalinya aku mengungkapkan ini padanya. Perlahan aku mencium bau yang tak mengenakkan. Bau aspal. Suatu kebetulan yang hebat, ada bau aspal sungguhan dari jalanan di depan warung bakso tempat kami berada. Ada proyek perbaikan jalan untuk memuluskan kembali jalan yang sebelumnya retak-retak sedikit. Entah pertanda atau semacam ejekan buatku, apakah hari ini aku pulang dengan medali aspal lagi? Aku terus membaca wajah Nalia. Ah, susah! Terlalu cantik! Bisa gila terpana aku kalau begini. Kulanjutkan saja.

“Jadi…an sama a..”

“Stop sampai situ, Yanda. Jangan lebih dari itu.”

Seperti baru saja Tim Densus 88 mendatangi tempat bakso ini dan langsung menodongkan senjatanya padaku. Dadaku berdetak sungguh hebat, semakin cepat dan semakin ringan tak terasa. Mungkin aku sudah tak punya jantung lagi. Napas yang kutarik-hembus-tarik-hembus begitu berat. Kelopak mataku berkedip dengan berat. Mulutku terangkat, bergetar, bergetir dan nyawaku serasa terkuncir lalu keluar pelan-pelan lewat hidung, bertukar pelan-pelan dengan bau aspal. Aspal, aspal, dan aspal! Aku menyesal membuat teori medali ini.

Delapan bulan lalu, acara Festival Seni dan Budaya di Gedung Tambun Bungai menjadi awal pertemuanku dengan Nalia. Aku mengisi acara drama. Di ruang ganti, sekelompok gadis penari dengan pakaian adat khas Kalimantan Tengah bersiap tampil. Salah satunya sungguh menarik perhatianku—mungkin juga laki-laki lain di sana. Mataku tak lepas dan sesekali ia juga melirikku.

“Mana menurutmu paling cantik, Yan?” tanya Haris, partner dramaku sesaat setelah para penari meninggalkan ruang ganti dan naik ke atas panggung.

“Gadis-gadis tadi?” Haris mengangguk.

“Hm.. menurutku yang paling depan.”

“Rambut panjang itu?” gantian aku yang mengangguk.

“Bagus juga matamu, Yan.”

“Kamu kenal dia?”

“Iya, namanya Nalia..” Ternyata namanya Nalia! Setelah ini, aku akan mengajaknya berkenalan lalu mencoba mendekatinya, “..dia pacarku,” sambung Haris. Musnah harapku.

***

Pada akhirnya, aku berkenalan dengan Nalia—dikenalkan oleh Haris, kekasihnya sendiri. Aku membiarkan dia memanggilku dengan nama panggilan, tanpa embel-embel ‘Kak’ di depannya. Lucu, baru permulaan langsung diberi cobaan. Lucu kuadrat, dua hari setelah perkenalan itu, Haris dan Nalia mengakhiri hubungan mereka—diproklamirkan melalui status dan pemberitahuan facebook. Memang, pertengkaran mereka juga terasa sampai ke situs jejaring sosial tersebut seolah mereka tidak ada masalah jika diketahui banyak orang.

“Cukup, kunyatakan berakhir! Semoga bahagia, dadah!”

Status yang ditulis Nalia inilah penanda kepastian berpisahnya mereka. Dalam sekejap, beruntun muncul komentar-komentar yang didominasi oleh laki-laki berlagak menghibur Nalia. Aku mengambil handphoneku, mengirimkan SMS kepada Nalia. “Sekarang, boleh aku maju?”

Tak perlu waktu lama untuk dekat dengan Nalia. Hanya untuk merengkuh hatinya, tak secepat itu. Selang dua bulan aku mencoba menyatakan perasaanku untuk pertama kali padanya.

“Maaf, Yan. Aku lagi nggak mau pacaran.” Itu adalah penolakan perdana untukku. Sungguh, tak ada yang lebih menggelisahkan dari ini. Akhirnya aku berkesimpulan, kalau mungkin ia masih trauma dengan Haris.

“Aku mau serius belajar dulu,” sekali lagi aku luruh, dua bulan setelah penolakan pertama. Ia memang masih SMA waktu itu dan akan ujian akhir. Aku (coba) maklum.

“Kita berteman aja ya, Yanda,” kalimat untuk kali ketiga medali aspal tergantung di leherku sebulan setelah medali kedua kuraih dan sehari setelah Nalia selesai ujian.

“Jangan sekarang.” Jujur, alasan ini paling abstrak. Tanpa kelanjutan dan aku terlalu hancur untuk menanyakan lanjutannya.

Dan kini, di warung bakso ini, Nalia menolakku lagi. Sungguh, aku iri dengan Haris dan penasaran bagaimana ia bisa mendapat hati Nalia. Aku memalingkan pandangan dari mata Nalia yang sayu.

“Nalia, mau kutemani pulang?”

Nalia menggeleng.

Hujan mendadak turun.

***

Palangka Raya. Memang wajar jika kota ini dikandidatkan sebagai calon ibukota negara. Daerah yang masih dilintasi garis khatulistiwa dan bercuaca cukup panas ini sebenarnya punya teritorial yang luas. Hanya jarangnya bangunan dan populasi penduduk yang sedikit membuatnya tidak terlalu tampak sebagai sebuah ibukota provinsi, dibanding kebanyakan kota lain di luar Jawa. Namun tak bisa diremehkan soal kotanya yang ditata rapi dan matang. Jalan yang lebar, bersih, serta adanya bundaran di persimpangan jalan membuat kota ini minim potensi untuk macet. Suasana natural begitu kental, masih banyak ditemui hutan dan daerah hijau, begitupun lahan kosong yang hanya dihuni ilalang. Sayangnya, kadang terjadi pembakaran lahan—kebanyakan saat kemarau—hingga musim asap terjadi dan mengganggu aktivitas serta kesehatan warga. Jika sudah begitu, senyumlah yang terkembang saat hujan turun.

Aku dan Nalia masih duduk berhadapan, tanpa bicara. Aku beberapa kali memalingkan wajahku saat Nalia menatap ke arahku, mungkin juga Nalia tengah membaca raut paling kusut dari pernyataanku yang ia potong tadi.

“Yanda,” panggilnya lembut seraya tersenyum. Aku hanya membalas senyumnya. Sungguh, aku tak bisa berkata.

“Hujan gini jangan cemberut dong, aku suka lho dengar suara hujan. Apalagi kalau di rumah, aku suka nengok ke jalan dari jendela,” Nalia mencoba menghiburku atau lebih tepatnya mengalihkan obrolan. Aku masih diam sambil mengikuti Nalia memandangi jalanan di luar. Memandangi hujan yang turun. Ingin rasanya aku berlari ke arah itu, menyatukan hujan dengan airmataku yang turun, ingusku yang juga turun, dan kecewa yang ikut turun. Mungkin setelah ini, berat badanku akan ikut turun.

“Kamu tak suka hujan, Yan?” Tanya Nalia setelah sekian tanya darinya kujawab dengan diam. Aku suka hujan, Nalia. Suka! Tapi sekarang apa yang harus kusampaikan padamu? Mulutku masih tertutup rapat.

Hujan turun makin deras tanpa ampun menghujam genting. Kami diam, Nalia sesekali menggigiti jari lentiknya.

“Yan, foto rame-rame kita di Tangkiling kemarin sama kamu ya? Lihat dong..” Nalia memecah hening kami lagi. Kukeluarkan laptop kecilku kemudian menyalakannya.

“Ini. Tinggal tunggu nyala aja,” akhirnya aku bisa bicara, sambil menyodorkan laptopku pada Nalia.

“Eh, kok?” Nampak keheranan dari wajah Nalia.

“Kenapa, Nalia?” Nalia tersenyum seperti menahan tawanya. Ia memutar laptop dan memperlihatkan layarnya ke hadapanku. Nampak foto Nalia mengenakan kaos biru yang sedang duduk dan tersenyum manis di sebuah bangku dari batang pohon. Habislah aku.

“Wah, aku jadi wallpaper laptopmu. Jadi tersanjung,” ucapnya antara canda dan sindiran.

Aku salah tingkah, mungkin wajahku sudah memerah.

“Boleh pinjem HP kamu, nggak? Pasti wallpapernya bagus.”

Aku bungkam.

***

Sungguh, aku ingin segera pergi dari tempat ini. Sudah terlampau banyak kebodohan yang kutunjukkan. Bahkan setelah aku resmi mendapat medali aspalku yang kelima. Kupikir cukup sudah, seharusnya aku bersyukur Nalia tidak menjauhiku.

Nalia masih sibuk dengan laptopku, sesekali tersenyum sambil melirik ke arahku, sesekali kedua alisnya nyaris bertemu memperhatikan foto-foto di sana. Aku memutar-mutar sedotan di gelas es jerukku yang tersisa seperempatnya. Denting es batu dan gelas terdengar meski kalah dengan deru hujan yang mulai memperlambat temponya, menunjukkan tanda-tanda reda.

“Foto-fotoku yang sendirian di mana, Yan?”

“Di folder yang satunya, kupisah sama yang lain.”

“Wah, sampai dapat tempat eksklusif.”

“Kamu di mana-mana selalu eksklusif, di hatiku juga,” godaku sambil menjulurkan sedikit lidahku.

“Mulai deh..”

“Tidak keberatan, kan?”

“Nggak kok, Yan..”

Sesaat, hujan seperti semakin melambat, atau tepatnya nampak seperti mengerem mendadak. Langit masih gelap dan wangi hujan yang khas naik mulai ke udara.

“Nalia, hujannya sudah reda, tuh.”

Nalia mengangkat wajahnya yang terfokus ke monitor, lalu menoleh ke luar. Mendadak datang lagi suara air yang beradu dengan daun-daun. Semakin kencang dan kian kencang. Rupanya hujan tadi hanya jeda sebentar lalu melanjutkan serangan rinainya jilid kedua.

“Yah, hujan lagi.”

“Nggak bisa ditebak. Persis kamu, Nalia.”

“Haha.. apanya yang nggak bisa ditebak?”

Entah kenapa aku merasa tak perlu menjawab pertanyaannya yang satu ini. Jujur saja, tiba-tiba aku merasa kesulitan menjawab pertanyaannya.

“Yanda jadi pendiam, ya.”

Entah kenapa aku merasa seperti orang bodoh dan payah. Lagi-lagi aku menjawabnya dengan senyum kebingungan.

“Aku suka banget lihat cowok kebingungan.”

Hah? Entah apa maksudnya.

“Oh iya, tawaran temenin pulang tadi masih berlaku, nggak?” Sontak aku terkejut, mengangguk. Sangat cepat.

“Kalau tawaran jadi pacar, masih?”

Kali ini aku ternganga, tersenyum heran. Leluconmu terlalu gila untuk hatiku, Nalia.

“Kok nggak jawab?”

Aku harus menanggapi apa? Kau mengerjaiku?

“Atau aku yang ngomong. Yanda, mau jadi pacarku, nggak? Aku kecewa lho kalau ditolak. Aku nggak mau ekspresiku sama dengan ekspresimu yang sudah lima kali kutolak.”

Aku menggelengkan kepala, heran tak percaya. Mulutku megap-megap seperti ikan di aquarium. Entah aku harus menanggapi apa. Kulihat Nalia memandangku seraya memegang sisi laptopku dengan tangannya. Lalu mendadak memutarnya ke arahku.

“Taraaa…!!!”

Di monitor, nampak foto kami berdua yang seingatku diambil saat kami di Bukit Tangkiling beramai-ramai. Hanya yang nampak kali ini, foto telah diberi hiasan bingkai. Rupanya sejak tadi Nalia mengedit foto kami. Satu lagi, yang membuat mulutku kian lebar membuka.

“NALIA & YANDA” Tulisan yang diterakan di sebuah gambar balon kecil berbentuk hati di pojok bawah foto. Sungguh, sampai kini aku tak mengerti. Tak mengerti.

“Yanda, jangan tolak aku, ya?” Nalia melemparkan senyum lembut padaku. Senyum yang tulus.

Hei! Bisakah kau lihat medali emas bersinar-sinar di dadaku sekarang?

READ MORE - NALIA