Siput

Siput-siput bermata sipit
Melangkah lamban pelit-pelit
Perut lekat di pinggir parit
Mungkin geli jika menggigit
Tinggal sendiri di cangkang sempit
Bisu suara meski menjerit-jerit
READ MORE - Siput

Cintamu Jatuh Di Jalan

kudengar
cintamu jatuh di jalan
maaf kuacuhkan keluhmu
dan tak kupeduli entah siapa
nanti yang memunguti

yang jelas
andai aku yang menemukan
kupindahkan saja
ke tempat sampah

Toh, aku cinta kebersihan....
READ MORE - Cintamu Jatuh Di Jalan

Sesendok Saja

: d.a.r

sesendok saja, aku ingin menyuapimu
ingin melihat peram matamu. melihat
bagaimana parfait lumer dan pernik
cokelat terjepit di merah bibir cerimu
pada pucuk muffin yang kusentil dan
terbang hinggap di jendela
seperti kakatua yang begitu setia
pada nenek bergigi dua
seperti segala rasa yang bersepakat
sewaktu-waktu bermelankolia

sesendok saja, aku ingin bicara
sebab kau tahu aku punya kata-kata
biasa mengendap di hatiku yang
seperti mangkuk kolak pisang
di segenang keruh menyembul
potongan kebodohan yang betapa
nikmatnya

sesendok saja,aku ingin tahu rasanya
membencimu. telah kutaburi garam pada
pantulan wajahmu di genangan susu
tiba-tiba berubah menjadi semangkuk sop
menggoda aku menyeruput sayupmu
lagi

sesendok saja, biarkan senyummu ada
agar tetap kurasa lapar di dada



--
Malang, 27082010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Sesendok Saja

Keriput

maka setiap muncul segumpal sesal dipelataran wajahnya
yang keriput, seolah ingin dibangunkan bagimu peraduan
selayak kanopi dicerita seribu satu malam
inginnya kental agar kau terlena dalam dekap malam yang menghangat
raja raja dihikayatnya

lampin itu bukan layaknya kasur yang mengalasi ketulusan berlapis
dan keikhlasan lelapmu sampai kepenghujung senja
lalu semua remah remah dan ceceran susu bendera menyatu dikerumun semut semut merah, tenang kau berdendang bagai sejuk hembus angin di cordoba

keriput itu semakin mengerucut ketika airpun menetes satu satu cuma
seiring itu lampu yang menyala padam tak paham ketika,
dayanya semakin renta tak juga dituangnya sejuk air membilas
tubuhmu yang sarat rela, sebisa ingin dikuaknya setiap pintu
agar nyala itu berbias kasih mendekapmu menghantar hidupmu
nyatanya, disetiap kebocoran atapnya dan semburat air hujan itu,
memang berkah pengorbanan dan pengertian
nyatanya,waktu itu berjalan menguntai bagai biji merjan
disetiap maniknya adalah akun kehidupan

wajahnya semakin keriput,
merenda keterbatasan
READ MORE - Keriput

Puisi Mati

dan puisi pun mati

pujangga habis nafas telah

mendenyutnya

memaki kelopak kemboja yang

tercerabut sendiri


dan puisi pun mati

tanpa sanggup sesiul

nafas membunyi lagi


READ MORE - Puisi Mati

Di Antara Hujan Lalu

Katakan, Fla! Apa yang kau ingat
dibalik rumpun hujan yang menyapa
perpustakaan sekolah kita?

Fla, ketika mulai rindu padamu aku
dengan tangan di bawah dagu mencuil waktu
tidak untuk ke belakang, tak pula ke depan
namun ke berantah yang kucipta sendiri dan
kita sebagai penghuninya
nikmati panorama yang bisa
kuganti sesuka hati

Fla, di sana akulah lelaku yang mengatur
kalimat hingga segala gerakmu
pada sebuah entah, dimana
selamanya definisi cinta hanya ada satu

kau dan
aku
READ MORE - Di Antara Hujan Lalu

Di Kamarku yang Berantakan

hanya bingkai kuda nil berisi fotomu yang

terpajang rapi, seperti deret gigi di balik

tikungan senyum bibirmu itu. di samping

kasur tanpa kaki ranjang yang meniang

sebab aku takut kolong ranjang. katanya

tempat setan bersembunyi dan serangga

membangun bahtera rumah tangga


di sebelah bingkai fotomu, tegak sekaleng

susu sapi yang sudah kosong. dan kujadikan

celengan, menabung keping demi keping

kenang yang senang menggerincing sendiri

tiap menatap senyummu sesekali


parfum, gel, dan sisir. berserak di kaki bingkai

fotomu yang mendadak menatapku penuh sindir

seolah menyuruhku bercermin "cermin.. cermin..

apakah aku lelaki tertampan?" lalu

cermin itu pecah, menyisa bentuk macam nisan

di pemakaman. melengkung seukir nama; rindu


senyummu susut pada sisa ringsut yang berleha

di atas selimut, adu sikut dengan seprei yang kusut

di kamarku yang berantakan. kertas, debu, dan bungkus

mi jadi saksi. betapa akanmu, rindu takkan pernah

kumengerti seperti


kamarku ini


--

Malang 26082010

Andi M E Wirambara

READ MORE - Di Kamarku yang Berantakan

Semanggi Empat Daun

di sebelah rumahmu, denyut keriangan tumbuh
rumput-rumput tak lebih tinggi dari tangkai semanggi
berdaun empat yang membuka seperti parabola
penangkap acara lagu-lagu cinta kesukaanmu tiap hari

aku iri, aku
coba mencari mendatangi sudut taman, mengitari
rumpun kerinduan. yang ternyata hanya ditumbuhi
pertanyaan-pertanyaan tentang kapan waktu mekar
menjalar pada ayunan. dengan angin sebagai bocah yang
bermain-main

tak lama kau datang dengan tubuh penuh
pasir dan bekas cabutan rumput. serta
sederet asa kian keriput di dahi yang
mengkerut

"ibu minta yang berdaun lima" ucapmu seraya menginjak
semanggi empat daun yang baru kaupamerkan pada ibu
mu lugu. menarik lumbar isak lirih dengan keringat kening
yang mencuri start, hendak menyalip airmata di sela
pori-pori pipi

kukeluarkan semanggi daun tiga, yang kusembunyi
pada lipatan-lipatan cerita. menyiapkan alur
kebohongan kebanggaan melipat muka
lalu kucopoti kedua daun telingaku
menaruh keluhmu

pun kutahu
mendengarnya
nanti

--
Malang, 25082010
READ MORE - Semanggi Empat Daun

Hujan di Perapian

Kemarin hujan

turun lagi seharian

nampak bebutiran

menempel di jendela

mengalir seperti

garis telapak tanganmu

menerawang cinta mana

kelak menyusuri lekuk

nadimu hingga ke pipi

hingga ke hati


hujan jelma jadi bayangmu

yang pecah di atas kanopi

sedang di bawahnya seekor

kucing melingkar tidur

mendengkuri benak yang

berguling mundur


sekeping rindu mendadak

jatuh ke aspal jalan

melenting bebunyian

beradu riuh dengan

gemericik yang

kian memelan

yang lalu kupunguti

melontarkannya ke tungku

api matamu


menghangatku, menghangatmu

menghangat cengkrama rindu

memindah hujan kepada

perapian di


pendarmu itu


--

Malang, 24082010

Andi M E Wirambara

READ MORE - Hujan di Perapian

Petasan

mendadak terbangun aku oleh
letup petasan bocah komplek perumahan
membuyar mimpiku tentang kau
yang tengah meracik bahan peledak

dari dadamu kau keluarkan
mesiu
menaburkannya pada rajutan
alismatamu
menggulungnya lalu kau pantik
di ujung jemarimu yang lentik
kaupun melemparnya lalu tertawa
dengar ledakan telah berbunyi
dan segera kau lari sembunyi

tanpa menyadari, dadakulah yang baru kau kenai

---
Malang, 24082010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Petasan

Biru - Kau

Aku selalu ingin berikanmu

apa-apa yang berwarna biru

simbol kesukaanku pada ketenangan

serupa gurih senyummu yang ringan


ini hatiku, lengkap dengan isi

tapi warnanya tak biru, hanya

segumpal debar-debar merah muda

seperti pipimu yang hendak kukenalkan

pada telunjuk dan ibu jari


tas, jaket, dan cokelat

kado ulang tahunmu yang lama lewat

namun tak ada yang biru, hanya

coklat dan putih menanda

padamu, rindu tak sudi memipih


maka hingga suatu entah nanti, aku

sanggup berikanmu suatu yang biru

selain dari langit dan dari

sebayang laut yang telah lebih dulu

mengapung di


mata telaga

mu


--

Malang,20082010

Andi M E Wirambara


READ MORE - Biru - Kau

Fuuka

1.
Aku tak pernah ingin kau tahu sejahatnya
aku memarahi cuitcuit burung yang
bahkan belum mengicau pagi
atau beringasku kala tengah rapikan
kerutan kasur dan ingatkanku pada

betapa cemburu mampu mencekik
jenjangan hati hingga rindu seperti
lemas guling yang tak bernafas lagi

2.
Seringkali aku tak suka melihatmu menatap
es batu dalam gelasmu yang kuanggap
seolah saling menghitung
kapan waktu akan lelehkannya seperti
asaku yang menetes, jatuh ke mangkuk bakso

dan kutatap matamu, melekati prasasti
ukir mantra yang kulafal tiap tengah hari
agar terus mendengung di telingamu
degup dan wewangi angin yang hanya
bisa kau temu dari dadaku

3.
Jelang senja kunaikkan layang-layang
mengajakmu yang lebih memilih
bermain dengan ilalang

namun kubiarkan saja, hingga nanti kau
hirup suatu wangi hanya muncul kala
sepi mengitar dan menyisa angin
dan wangi yang kauingat sebagai

: aku

--
Malang, 19082010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Fuuka

Yang Kita Lipat Seusai Hujan

tiada sesungguh tahu apa yang kulaku
kala belai helai hujan usai dan
menyisa namamu di kaca-kaca jendela

tiba gelap bukan hendak petang
hanya sisa-sisa mendung meniti bentang
lalu telanjang kaki siluetmu datang
melambai tangan di bawah
pohon jenjang

dan kulipat senyum menjadi pesawat
layangkannya ke sela dedaun yang rapat
menitip ringsut rindu padamu sejak lalu
kupagut pada angin-angin kusut

sedang belum sempat tersampai
bayangmu hilang, tinggalkan sepucuk
tanyaku yang sudah kau lipat menjadi
kapal-kapalan dan kau apungkan pada
kubangan bekas hujan yang juga genangi
rindu dengan segala kerendahan hati

tunggulah hingga nanti mampu aku melipat
hujan, sesuka hati bawamu datang lalu pergi


Malang,16082010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Yang Kita Lipat Seusai Hujan

Semenjak

Semenjak tarawih pertama usai, entah detik mana-mana sudah rentet doa kunafaskan untukku, untuk ibu bapak pulaserta yang kukata saudara. Sedang namamu kusebut paling ujung. Pun hingga kuganti baju koko santun dengan kaos berandalku, namamu menjadi dengung. Tak henti di relungku ia menggaung.

Semenjak butir kurma menjadi penanda, lelangit yang kuintip dari jendela tak lagi menjanda. Masih saja aku membayang siluetmu yang tadi memantul, dalam genangan sayur di mangkuk sahur. Maka telah kuseruput rindu yang sudah hendak mendingin, dan sisa-sisa rindu telah terbawa bersama air kumur-kumur yang sekeruh bolamataku.

Semenjak azan subuh masjid menjeda gema ayat-ayat dan tajwid, kelopak mataku terlalu berat membuka. Sebab kau bergelantung di bulumataku. Benang-benang selimut seolah menjadi konsonan yang menjerat, mengikat dan menayang gerak-gerikmu rapi pada mimpi. Hingga aku terbangun oleh celoteh sajadah yang mengata, untukku segera menyapa pahala.

Semenjak galau menjadi iblis yang membisik di telinga kanan-kiriku, mengheningmu sejenak selalu kupancang di ranah niatku agar segala tak sia-sia. Meski hening pula yang memunculkanmu lagi, pada deras air wudhu yang mengalun membagi nada dengan merdu sapamu yang kuhapal telah. Seketika selintas senyummu berkelabat, melipat-lipat ketidakpahamanku yang nanar.

Dan semenjak tak lagi kupaksa lenyapkanmu dari kepala, galau hanyalah abu ketakutanku menjurus hati. Maka tiada ada sanding antara aku yang mencintamu dan kita yang mencintaiNya. Segala cinta-cinta kita gandengkan malam-malam saja, usai berbuka dan kembali sapamu di layar selular yang seharian lalu menahan rindu. "Sudah kenyang, sayang?"

READ MORE - Semenjak

Tanda Tanya

Tanda tanya memanglah sebuah tanda tanya, ada kebingungan yang meliuk melengkungi kepala. Bongkah kealpaan turun dan memisah, menjadi bulatan yang menggelinding pasrah. Jauh ke berantah yang entah.

Ketika tanda tanya menjadi seraut panorama di balik jendela, ayunan daun-daun terbaca sebagai simbol keheranan yang melambai. Seperti pecahan-pecahan hati yang malu pada retakan batu, seperti tiap rindu yang rutin menderma bisu.

Dalam mitologiku, tanda tanya adalah buah ketidaksetiaan sunyi pada waktu, pada segerombolan usik yang rancu. Seperti mengajarkan hal sama pada Aprodhite, melipat malam bersama Ares mengkecamuk geram Hephaestus. Menyisa keluh. Peluh.

Hingga berantah panorama rindu, memutus sekat-sekat di otakku. Menyita jeda antar nafasku yang hanya berisi tanda tanya. Tentang kau, genangan tanda tanya yang membatu di degup manapun aku.
READ MORE - Tanda Tanya

Salam Pagi Buta

siapa lagi mampu bangunkan
pulas pagi di balik ufuk selain
mereka yang telah dahulu melekat rasi-rasi
yang mulai pergi dengan ujung jemari, dari
cuil sabit yang berkibar pada perahu dan
sekoci

mengutus waktu-waktu yang mati
lalu hidup lagi melayang mengembun
pada lipatan daun-daun, seperti
gulungan doa yang dahulu telah
menggenang di gelayut kantung mata

hingga pagi nanti tak lagi
buta untuk melihat wajahnya sendiri
sendiri

---
Malang, 07082010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Salam Pagi Buta

PINANGLOVA

Indonesia adalah negara multikultural, bermacam suku, bermacam agama, bermacam adat, bermacam seni, bermacam watak, bermacam masalah, bermacam kehebohan, dan bermacam pula macam-macamnya yang sudah banyak macam itu. Macam Sumatera, macam tutul, macam putih. Macam-macamlah pokoknya.

Beruntung, keberagaman ini cocok dengan budaya masyarakat yang pantasnya dilestarikan. Seperti yang tengah dilakukan para warga desa Xemprul Jayamakmur, gotong-royong. Masih lima hari jelang tanggal 17 agustus, tapi suasananya sangat terasa. Kain merah putih, dikibarkan di pucuk bambu yang dipancang pada pinggir-pinggir jalan, gapura yang di-cat ulang, membersihkan patung pahlawan, menempel poster Harry Potter dan Lady Gaga.

Dan tentu, perayaan 17 agustus identik dengan lomba meriah nan heboh. Termasuk desa yang memiliki Pak Surya sebagai kepala desa ini. Beliau pemimpin yang baik, bijaksana dan cerdas. Agar yang disebut “Agustusan” ini meriah, beliau bahkan mengeluarkan anggaran khusus dengan segala perhitungan yang tetap membuat kas desa dalam lingkup aman, tanpa memusingkan inflasi, tanpa takut dibingungkan oleh redominansi rupiah. Warga tingal menanti kapan mereka bisa mengikuti lomba balap kerupuk, makan karung, panjat pensil, ataupun memasukkan pinang ke dalam botol.

Tahun ini sangat istimewa, sebab kepala desa membuat kompetisi pada lomba-lomba yang ada, dengan mengundang perwakilan dari desa lain untuk saling berlomba. Sudah ada dukungan serta sponsor dari PDDSB (Persatuan Desa-Desa Sejahtera Booo..) untuk melaksanakan acara itu nanti.

****

Plung!

Di bawah langit serta selintas awan-awan putih yang tipis, di antara bunyi ilalang yang beradu dengan gemercik air. Jono merenung dengan tangan memangku dagu. Dia tak terlalu acuh soal agustusan di depan mata, di pikirannya hanya berputar-putar Meidy dan Meidy. Nama yang menarik, tak salah sebab orangnya pun menarik. Meidy seorang perempuan cantik yang cerdas, tak heran jadi kembang desa. Anak gadis dari pak Surya, sang kepala desa.

Jono menyukai Meidy, dan sering cemburu melihat banyak pemuda yang mendekati Meidy, mencoba menggoda dan merayunya. Tapi status anak kepala desa yang disandang Meidy buat persaingan itu bukanlah persaingan enteng. Siapapun yang mencoba menaklukan Meidy, berarti juga perlu menaklukan kepala desa. Itulah yang buat Jono berkecamuk, ia pemuda yang cukup tampan dan cukup baik. Hanya tak cukup bisa menunjukkan kepantasannya untuk Meidy.

DUK! DUK! DUK!

“Lama betul kau di dalam sana, Jon! Jangan-jangan kau sedang keluarkan tabung gas dua belas kilo dari perut kau itu.” Teriak Nurdin menggedor-gedor pintu toilet (baca: jamban terbuka yang hanya berdinding papan dan seng, beratap langit biru ber-kloset papan bolong yang tembus ke sungai). Lalu Nurdin langsung lari sejauh 300 meter seraya menutup hidung yang sebenarnya sudah ditutupi masker 30 lapis.

“Diamlah Din, aku pusing! Bagaimana biar Meidy mau padaku.” jawab Jono.

Plung! Plung!

“Apa pula bunyi plung-nya kau tambah satu, Jon! Soal Meidy rupanya. Kau sudah dengar belum pak Surya buat kompetisi lomba agustusan?” ujar Nurdin sambil mencoba menguburkan hidungnya ke tanah.

“Itu aku sudah tahu, apa hubungannya dengan Meidy? Errggh..” Jono bertanya lagi sambil mengerahkan tenaga. Plung!

“Payah kali kau Jon!” cetus Nurdin. “Pak Surya adakan seleksi pemuda untuk jadi atlet-atlet lomba mewakili desa kita. Meidy juga jadi jurinya, kesempatanmu buat cari perhatian.” Lanjutnya.

Plung! Plung! Plung! Ceplung! Pluk!

Seolah mendapat pencerahan hati, Jono tersenyum menanda telah melepas sebagian beban. Ia membersihkan diri, berdiri dan keluar dari toilet terbuka itu.

“Nurdin! Aku ajak aku ke seleksi itu! Aku ikut!” teriak Jono pada Nurdin dengan suara yang benar-benar lelaki, lantang, seraya mengepalkan tangan dan diangkatnya ke udara.

“Tidak mau! Malu aku ajak-ajak kau!” balas Nurdin.

“Apa maksudmu? Tadi kamu yang kasih tahu aku, malu apa kamu?” Jono heran.

“Jelas aku malu! Pakai dulu celanamu!” Nurdin langsung pergi berlalu.

****

Di lapangan kantor pedesaan, orang-orang sudah ramai berkumpul. Di antaranya banyak pemuda yang menanti seleksi atlet lomba yang diawali upacara pembukaan oleh kepala desa.

“Masyarakat dan pemuda desa yang saya banggakan., izinkan saya selaku kepala desa menyampaikan rasa terima kasih saya dari anda yang begitu antusias ikut seleksi ini tanpa paksaan, tanpa suap, dan semangat. Jujur, sejak Belanda dikalahkan Spanyol pada final piala dunia kemarin, saya kurang yakin desa kita punya potensi berprestasi pada olahraga. Tapi kecemasan saya hilang ketika Valentino Rossi bisa kembali naik podium setelah cedera yang panjang. Saya harapkan melalui seleksi ini, kita bisa menyaksikan bakat terpendam yang dimiliki desa untuk bersaing di kancah Lomba Tujuh Belasan antar desa, yang akhirnya membawa desa kita dipandang di dunia internasional. Itu saja dari saya, sekian dan terima kasih. Salam sejahtera untuk kita semua. Pertama-tama, marilah kita...”

Tak terasa belasan jam berlalu, kepala desa menutup pidatonya dengan doa bersama dan melakukan potong tumpeng. Juga menyalakan kemenyan sebagai tanda dimulainya seleksi. Sementara ketegangan nampak di wajah peserta, termasuk Jono.

“Kamu mau ikut cabang lomba apa?” tanya Pak Surya.

Jono diam, ia tak berkonsentrasi karena sibuk melirik Meidy yang sedang mewawancarai peserta lain di sebelahnya, seorang pemuda yang sedikit lebih tua dari Jono.

“Kamu mau ikut cabang apa?” tanya Meidy pada pemuda itu.

“Balap karung.” Jawab pemuda tersebut.

“Hm.. menurutku kamu bisa ikut panjat pinang karena bodimu tinggi. Lagipula aku suka lelaki yang bisa panjat pinang, dia pasti tangguh dan tidak sepertiku, takut ketinggian. Hehe.. tapi larimu cepat dan kupikir mampu untuk balap karung pilihanmu. Tak perlu tes, kamu lulus untuk mewakili cabang balap karung. Sampai jumpa lagi di perlombaan, Cristiano Ronaldo.” Tutur Meidy dengan lancar.

“Jono!” suara Kepala Desa mengagetkan Jono. “Jadi apa?” tanya kepala desa lagi.

“Aku ikut panjat pinang!” Ujar Jono lalu tersenyum. Memilih panjat pinang, dari percakapan Meidy dengan Cristiano Ronaldo tadi. Meidy suka lelaki yang ikut panjat pinang!

Seleksi terbagi atas tiga jalur kelulusan. Pertama adalah jalur rekrut, atlet-atlet yang ditunjuk langsung badan keolahragaan desa sudah pasti ikut dalam kompetisi tanpa seleksi. Yang kedua jalur tanpa tes, seperti yang dilakukan Meidy yang sudah yakin pada calon atlet bisa langsung lulus tanpa tes sekalipun karena kemampuannya. Jalur terakhir adalah jalur tes, jumlah peserta harus diciutkan dengan cara memberikan tes berupa ujian-ujian sehingga tersisa beberapa yang ditargetkan panitia.

****

Sebagai orang dengan kemampuan samar-samar, Jono harus mengikuti tes seleksi dan bersaing dengan banyak peserta lain. Setelah tes fisik dan mental yang panjang, Jono lolos ke babak terakhir. Dia tinggal menanti keputusan juri, apakah lulus atau tidak.

“Tampangmu ganteng, kupikir ikut panjat pinang bukan ide bagus untukmu.” Rossa memberikan komentarnya sebagai salah satu juri.

“Aku terkesan dengan semangatmu hingga sampai sini, meski aku tidak suka kamu mengupil waktu ujian panco tadi. Tapi aku setuju kamu lulus.” Terang Agnes Monica.

“Kamu begitu menghayati ketika ujian Peluk-Pinang-Mesra tadi. Modal bagus!” Ujar Erwin Gutawa.

“Satu kalimat, kamu lulus Jono!” sebuah keputusan dari Anang menandakan Jono lulus sebagai salah satu atlet yang berlaga di kompetisi nanti.

Jono terharu, ia menangis bahagia. Jono bersujud di tanah dan memeluk sobatnya, Nurdin. Keluarga serta kerabatnya memeluk dan memberi selamat pada Jono, nampak pula Krisdayanti dan Raul Lemmos di antara para penonton ujian bertepuk tangan untuk keberhasilan Jono.

Senyum Jono melebar melihat seorang mendatanginya. Benar! Meidy. Jono terpaku terpana saat Meidy mendekatinya, dengan membawa kertas berisi jadwal latihan Jono jelang 17 agustus nanti.

“Selamat ya Jono, ini jadwal-jadwal latihanmu.” Meidy menyodorkan selembar kertas pada Jono.

“Ah.. anu.. Meidy.. anu..” Jono terbata. “A..apa benar kamu suka lelaki yang.. pa.. panjang..” Jono makin gugup sementara Meidy mengerinyitkan alisnya.

“Panjang?” Meidy heran.

“Eh, ma.. maaf, maksudku panja.. panjat pinang. Ya! Panjat pinang. Apa kamu suka lelaki yang ikut panjat pinang?” Jono membetulkan ucapannya tetap dengan jantung berdebar. Meidy melengkungkan senyumnya, sedikit menarik nafas.

“Benar, lalu? Kamu jadi atlet buat cari perhatianku?”

Jono sungguh terkejut, Meidy sudah membaca maksudnya. Wajah Jono memerah, malu, asap mengepul di atas kepalanya. Sementara di belakangnya beberapa ibu-ibu berebutan hendak menceplok telur di atas kepala Jono.

Meidy beranjak pergi, Jono makin bersemangat. Ia siap untuk mengikuti serangkaian latihan berat dibawah kepelatihan seorang pelatih panjat pinang kelas dunia, Diego Maradona.

****

Hari ini tanggal 17 agustus, riuh kegembiraan dimana-mana. Teriakan merdeka oleh anak-anak, seruan pemberi semangat, jingkrak-jingkrak anak muda dari penampilan Greenday, histeris gadis desa pada Super Junior, Shakira, dan Wondergirls. Tampak atlet lomba dari desa lain sudah datang berkumpul, lomba siap dimulai.

Semalam sebelumnya, seekor burung hantu masuk ke kamar Jono membawa suplemen untuk kebugaran tubuh, tak lama seekor gagak hitam juga masuk ke kamar Jono melalui jendela membawa handuk kecil putih. Disusul dengan datangnya burung Nazar –yang sehari-harinya memakan bangkai– mengantarkan sebuah surat warna merah hati pada Jono.

“Kamu menarik, Jono. Kalau benar-benar kamu ingin membuktikan sesuatu padaku, lakukanlah. Aku memberikanmu barang-barang itu untuk mendukungmu. –Meidy-“
.....

Ah, romantis sekali perempuan yang satu ini pakai surat burung segala. Gumam Jono dalam hati seraya melipat kertas surat itu ke kantung celananya. Surat itu selalu Jono bawa termasuk saat sekarang, saat menanti giliran Jono untuk berlomba panjat pinang melawan atlet dari desa Konoha.

Panitia memanggil kelompok Jono yang terdiri dari 20.456 anggota. Ada 19.000 anggota di antaranya jadi sukarelawan di Palestina, 1000 anggota tengah mengikuti aksi kubur diri di Jakarta, 400 anggota melakukan sweeping penyakit masyarakat di hari kemerdekaan, 50 lainnya mendadak mules, muntaber dan diare. Tersisalah Jono dan 5 anggota lain yang tersisa. Sayangnya salah satu anggota, mengundurkan diri karena harus ikut rapat membahas wacana perpindahan ibukota Indonesia dari Jakarta. Dan mirisnya sesaat sebelum pertandingan, Nurdin yang juga anggota kelompok Jono mendadak mengundurkan diri karena telinganya gatal.

Tersisalah Jono dan dua anggota lainnya, Upin dan Ipin.

“Pinangnya tinggi sekali ya..” Jono terpana melihat batang pinang setinggi 45 meter di depannya.

“Betul betul betul!” Upin dan Ipin mengiyakan.

Peraturannya sederhana, tiap kelompok diberi satu pohon pinang yang dilumuri minyak telon untuk dipanjat. Di puncaknya menggantung sepuluh tabung gas elpiji 3 kilogram, dan hanya ada satu yang tidak bisa meledak. Itulah yang harus diambil para peserta, antar kelompok bisa saling serang untuk mengganggu kelompok lain naik ke puncak pinang.

Jono memegang batang pinang tersebut dengan kedua telapak tangannya. Ia menoleh ke kanan dan melihat lawannya dari desa Konoha, Naruto nampak menyiapkan senjata ninjanya.

“Apakah semua peserta siap?” wasit memberi aba-aba. “Kita hitung mundur untuk memulai! Seratus dua puluh.. seratus sembilan belas.. seratus delapan belas.. seratus tujuh belas..” lanjut wasit mulai menghitung mundur.

Pendukung bersorak-sorai, sekelompok mahasiswa ikut datang menyampaikan orasinya, terompet dibunyikan dimana-mana. Jono tampak tegang dan tangannya berkeringat dingin, ketegangan bertambah ketika Deddy Corbuzier muncul membawa kotak yang sudah digembok berisi nama pemenang lomba panjat pinang ini.

“Tiga.. dua.. satu..” Wasit mengangkat tangannya yang memegang sniper.

DOR!

****

Jono memanjat lincah, merayap seperti Spiderman di gedung-gedung sambil memeluk batang pinang. Bersaing sengit dengan Naruto di pinang sebelahnya yang memanjat berlari vertikal di batang pinang dengan kedua kakinya. Sebentar lagi keduanya mencapai setengah batangnya.

Sementara di bawah, Sasuke yang juga wakil desa Konoha, mencoba menyemburkan api ke batang pinang kelompok Jono dengan jurus ninjanya. Tapi Upin dan Ipin dengan cekatan menyiramkan air raksa sehingga Sasuke terbakar lalu lari pontang-panting.

“Ce’ mane menang cuma sembur-sembur api?” Upin mengacak pinggang.
“Betul betul betul!”

Sementara Jono terus mempercepat panjatannya, ia menempel ketat kecepatan Naruto yang memang seorang ninja. Naruto melihat Jono dengan sinis, nampaknya ia merasa kerepotan melawan Jono yang begitu tangguh. Naruto mengeluarkan senjata yang bentuknya seperti bintang dari sakunya, shuriken! Dan dengan cepat melemparnya ke arah Jono. Jono terkejut dan berhasil menghindari lemparan shuriken tersebut. Naruto kesal, dia melempar beberapa shuriken lagi. Namun semua lemparan bia dihindari Jono.

Naruto kehabisan senjata, Jono menghela nafas lega sejenak dan berkonsetrasi kembali pada panjatannya di batang pinang yang tinggal seperempat lagi mencapai puncak.

Jono terkejut, mendadak Naruto lompat dari pinangnya dan mendarat di pinang milik Jono. Sekarang Naruto dan Jono memeluk pinang yang sama. Tak berhenti sampai situ, dengan tangan kiri yang memeluk batang pinang, tangan kanannya melayangkan tinju pada Jono. Jono mengelak, namun kali ini tangan kiri Naruto yang datang hendak meninju Jono. Jono menangkis dengan kepalan tangannya. Jadilah pertarungan adu pukul di pinang tersebut. Pertarungan sengit dan saling balas.

Tiba-tiba pegangan Jono dan Naruto terpeleset, secara refleks mereka meraih batang pinang dengan kedua tangan mereka. Mereka terkejut, posisi mereka saling berpelukan dengan hanya dipisahkan oleh batang pinang di tengah-tengah mereka. Wajah mereka sangat dekat dan makin mendekat, mata mereka bertemu, saling bersitatap, mereka berpandangan cukup lama, perlahan wajah Naruto menjadi lembut, wajah mereka terus mendekat dan makin dekat.

“Tampan, aku mencintaimu...” ucap Naruto dengan suara pelan dan sedikit berbisik.

Mata Jono membelalak, melotot, mulutnya menganga, wajahnya merah, perutnya mual, mulutnya menggembung hendak muntah-muntah. Tanpa sepatah kata Jono langsung memanjat ke atas dengan kecepatan yang di luar biasa. Ia menginjak kepala Naruto dan langsung melesat ke atas menuju puncak pinang. Naruto kehilangan keseimbangan, tangannya terlepas dari batang pinang, dan mulai meluncur jatuh dari ketinggian 30 meter.

Di bawah, Upin dan Ipin melihat ada sesuatu jatuh dari atas mereka. Terus mendekat dengan kecepatan tinggi.

“Upin! Ada yang jatuuuhh !!!!” teriak Ipin. “Lari lari lari !!!” ujar Upin panik.

Jono sampai di puncak, dia mengendus-endus tabung gas elpiji 3 kilogram di sekitarnya. Jono menemukan satu tabung yang tidak memunculkan bau khas elpiji. Tentunya tabung itu tidak akan meledak. Tak lama ada bau khas elpiji yang sangat kuat. Jono sadar, tabung lainnya akan segera meledak. Jono pun melompat sambil memeluk tabung yang aman tadi. BUUMM!!

Benar saja, sembilan tabung lainnya meledak. Sambil meluncur ke bawah, Jono mengembangkan parasutnya dan mendarat di tanah dengan selamat. Semua orang menyambutnya, bersorak-sorai atas kemenangan Jono. Kepala desa menyalaminya, mengalungkan serangkai bunga. Meidy menghampiri Jono dengan tersenyum.

“Meidy..” Jono menatap mata Meidy yang sudah di depannya kini.

“Apa, lelaki tangguh? Ada yang mau kamu bilang?” Meidy yang ahli membaca situasi, nampak memancing Jono.

“Ini untukmu, Meidy.” Jono menyodorkan tabung gas elpiji yang ia peluk. “Meidy, aku suka kamu..” Jono akhirnya mengungkapkan perasaannya.

Meidy tersipu, perlahan tangannya menyambut tabung gas elpiji itu. Ia menerima tabung tersebut, menanda Meidy menerima pernyataan perasaan Jono barusan. Para penonton menyoraki mereka, ada yang bersuit-suit, ada yang melempar-lempar kembang, dan lainnya dangdutan. Nampak dari kejauhan, pak Surya sang kepala desa memangku tangan seraya tersenyum. Matanya seolah berkata, setuju anaknya menjalin kasih dengan lelaki yang membuat kampungnya bangga.

****

Senja telah lewat beberapa saat lalu, gelap menyelimuti langit desa. Jono mengajak Meidy memanjat salah satu pinang bekas lomba seharian tadi, memberikan pengalaman indah untuk Meidy yang takut ketinggian.

Sampailah mereka di puncak pohon pinang. Meidy berdiri dengan sedikit gemetar, dengan mesra Jono memeluk perutnya. Meidy membusungkan dada dan merentangkan tangannya.

“I’m flying! I’m flying!” teriak Meidy semangat.

Dan di puncak pinang, Jono dan Meidy menikmati romansa mereka. Dari ketinggian menikmati pemandangan desa yang berkelap-kelip dan penuh warna. Memandangi panggung di mana warga desa bersuka ria dangdutan dan berjoget bersama.

......


T A M A T

Lagu soundtrack : .
....
Dasar kau keong racun
baru kenal eh ngajak tidur
Ngomong nggak sopan santun
kau anggap aku ayam kampung
Kau rayu diriku
kau goda diriku
kau colek diriku
Eh ku takut sekali
tanpa basa-basi kau ngajak happy happy
Eh kau tak tahu malu
tanpa basa-basi kau ngajak happy happy
....
READ MORE - PINANGLOVA

Bintang Pulang

Sebagaimana kutahu ialah
Bintang-bintang yang beranjak pulang
Membawa serta sapa yang bergelayut
Dan kembali pada mata bolamu yang
Embun

Lalu bagaimana dengan pijar di kamarku
Yang tak pula beranjak seperti
Pagi yang tertatih menanjak?

--
Malang, 02082010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Bintang Pulang

Malam yang Sempat Hilang

/1/
bagaimana lelaku angin menyisir lamunku
tentang sayupmu di dahan pohon yang tenang
tentang gores angin laut yang lalu
mengukir namamu pada karang-karang

kukatakan memang, selalu ada yang kulaku seraya
menyeruput dingin yang menaiki bulu mata. menjungkat-jungkit
daripadanya, jatuh ke muka pipi yang kaku, dan merayap
naik menyelinap ke bola mata. yang juga menggigil
melompat mencari selimut, di balik kenang yang mengunggun
kala tiba aku bertamu pada malam
yang santun menuang bayang-bayang

/2/
pun malam ini tak jauh berbeda seperti
malam yang biasa kau dan aku ajak bermain kata
lalu kau tersenyum menahan nafas, saat di sela malam
itu kukalung cincin saturnus yang hanya pernah kau
lihat dari teleskop galilea

akupun tersenyum, menanti lagi malam dimana
bisa kuberi kau sesuatu. yang tak mudah kau lupa
tempat menaruhnya. seperti yang lalu-lalu

/3/
setelah malam ini, aku senantiasa untuk tetap
memunguti bayangmu yang telah pecah
tiada lagi ada lamunan, tiada lagi cerita tentang
bulan yang menyapa lalu hilang. atau tak lagi puisi
kupagut di langit yang tengah sepi

hingga utuh bayangmu, hingga kembali
siluetmu, tersenyum pada genangan rindu kau
dan aku yang tak lagi saling memantul

malam-malam yang mampu menata kata

----
Malang 29072010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Malam yang Sempat Hilang

Beringin


Aku dan beberapa rekanku lainnya baru saja tiba di perkampungan ini. Tidak terlalu kampung memang, letaknya tak sampai satu kilometer dari perbatasan dengan kota di sebelahnya. Bahkan penduduknya cukup bisa dibilang modern.

Aku meminta rekan kameramen merekam tiap sudut jalan, tiap apa yang kami lalui, kami lihat seraya melangkah ke tujuan kami sebenarnya. Sebuah pohon beringin ratusan tahun yang terkenal angker di kampung ini. Biasanya masyarakat akan memberikan nama terhadap hal-hal tak biasa, setidaknya mitos dan kesaksian sana-sini memberikannya sebuah sebutan, termasuk pohon beringin tersebut. Hanya saja kali ini benar-benar tidak ada. Jika penduduk ditanya, jawaban hanya sekedar “Pohon Beringin Angker”. Kupikir itu sudah cukup sebagai nama, kucatatkan itu di notes yang kupegang sedari tadi.

Kini kami berada sekitar 150 meter dari pohon beringin tersebut, memang sangat besar, rimbun pohonnya meneduhi beberapa rumah di sekitarnya, batang tuanya yang kokoh dan lebar hingga mungkin tak cukup jika hanya dipeluk beberapa orang dewasa, akar gantung yang menjuntai bak janggut pertapa sesekali menyirat mistis seperti yang diceritakan orang. Kami sendiri adalah kru dari stasiun televisi swasta, khususnya pada acara televisi yang menampilkan acara mistis. Uji nyali tepatnya, mencari penampakan di lokasi angker dengan menggunakan peserta yang ditinggal di lokasi dan diawasi dari jauh dengan kamera infra merah. Kami di sini untuk melakukan survei untuk lokasi uji nyali selanjutnya.

Seperti di daerah yang mulai (ingin segera) maju lainnya, di kampung ini kendaraan bermotor berlalu-lalang di antara kambing-kambing yang menyeberang jalan, anak-anak muda laki perempuan modis yang mengobrol asik di pondok-pondok bambu, dan perempuan dengan rok yang tak lagi nampak anggun. Maksudku seperti ketika menaiki sepeda motor, jarang sekali melakukan posisi duduk menyamping, kecuali rok mereka benar-benar panjang.

Pemandangan tersebut kulihat di jalan dekat tempat kami berdiri, seiring kameramen kami yang menyoroti pohon beringin tersebut. Entah alasanku berkomentar soal ini, entah aku terlalu sinis akan perubahan atau memang benar-benar kuno. Kupikir profesiku tidak akan buatku kuno atau tertinggal zaman. Dan sebenarnya juga tak masalah mereka seperti itu, apapun yang mereka kenakan tidak akan mempengaruhi ketertarikanku, sebab aku tak bernafsu pada perempuan.

Dibandingkan pohon beringin tersebut, mata dan hatiku lebih tertuju pada bangunan kosong di sebelahnya. Sebuah rumah cat putih yang tak lagi putih, ditumbuhi lumut, atapnya saja sudah hilang setengah, dinding yang penuh lubang serta ilalang tinggi yang tak sekedar memberi suasana seram jika malam, namun juga kenangan kelam, suram. Sebab aku kenal sekali tempat itu, traumatis, mengiang jeritan, dan air mata. Sebab ini rumah tinggalku dahulu, dan alasanku tidak bernafsu pada perempuan, tentu saja karena aku memang perempuan. Perempuan yang tak lagi perawan.

****
“Lin, jadi menurutmu peserta nanti melakukan uji nyali di sebelah mana?” tanya Guntur padaku.

“Kalau di bawah pohon beringin, mungkin di samping sini supaya tidak terlalu ke arah hutan. Juga di dalam rumah kosong di sebelahnya juga bisa. Sepakati saja nanti.” Ujarku sambil menunjuk beberapa tempat.

“Lalu para kru?”

“Nanti kita pasangkan tenda di dekat jalan sana, lebih luas untuk dipasang layar buat penduduk yang mau nonton juga.”

“Kamu benar-benar hapal daerah ini ya, haha..”

Aku tersenyum saja. Para kru yang berada denganku sekarang ini memang tahu aku sempat tinggal di daerah ini. Tapi tidak ada dari mereka yang tahu tentang rumah kosong di bawah pohon beringin yang dulu menjadi tempat tinggalku, bersama masa lalu yang sebenarnya sangat ingin kukosongkan dari kepalaku.

Aku melangkah ke arah rumah kosong tersebut, aku melangkah dengan sadar. Entah rasa penasaran atau kerinduan –entah terhadap apa– aku menyibak ilalang pelan-pelan, langkahku waspada sebab sisi ilalang memang tajam. Dan aku sudah melihat ruang depannya di pintu yang sudah tak ada pintunya lagi, hanya ada ilalang lagi. Dua orang teman kru mengikutiku, dan salah satunya membawa kamera. Dalam pikiran mereka tentu mengira aku ingin men-survei tempat ini pula, memang inilah pekerjaan kami.

Meski sudah separuh hancur oleh waktu, rusuk rumah ini masih sangat kuhapal, dan dalam kepalaku menyiluetkan keadaan di dalam ruangan ini dahulu. Ruang depan adalah ruang tamu, sofa merah bercorak bunga, lemari yang menyimpan piala penghargaan milik kakakku, dan foto-foto keluarga yang selalu menyunggingkan senyum melekat seperti cecak di dinding-dinding rumah. Sekarang tak ada sama sekali, hanya ruang kosong berdebu tebal, dinding yang berlubang, serta tikus eksotis yang sesekali lewat membuat mataku mulai menggenang.

Aku melanjutkan langkah pada ruangan selanjutnya, kali ini air mataku benar-benar turun menggantung di pipi. Ini kamarku dan kakak perempuanku dahulu, perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga sejak ayah meninggal lima tahun sebelumnya. Aku mengusap air mata agar rekanku tidak ada yang melihat dan bertanya, sebab aku tidak mau ditanya-tanya soal ini.

****

Aku ingat sekali malam itu, usiaku 9 tahun baru saja pulang dari rumah teman ibu. Pintu rumah terbuka, senyap, ruang tamu berantakan. Ibuku sontak masuk ke dalam dan terkejut melihat kakak tak berdaya, wajahnya lebam, rambutnya kusut terburai, pakaiannya telah dilucuti, tangan kakinya dipegang kuat oleh sepasang lelaki keparat. Ibu langsung menyuruhku berteriak memanggil penduduk kampung, aku berlari berurai air mata, tak percaya apa yang kulihat.

Terlambat, lelaki tersebut sudah pergi. Ibuku pingsan dengan darah di kepala, aku menangis, uang dan perhiasan ibu lenyap, terlebih saat tahu kakak juga lenyap bersama para lelaki itu. Penduduk membantu kami, membawa ibu ke rumah sakit, yang lain mencari kakak.

Bagaimana perasaan bocah sepertiku mendapat musibah seperti ini, mataku sembab semalaman menghabiskan air mata di depan ibu yang terbaring di tempat tidur rumah sakit. Pagi hari kakak ditemukan, tanpa nyawa. Ditemukan tepat di bawah pohon beringin di sebelah rumahku, bersama para penjahat yang juga tewas di sana. Menyisa misteri.

Aku beruntung memiliki ibu yang mampu menenangkanku tiap waktu. Aku sering bermimpi buruk sejak itu, ibu yang aku tahu perasaannya jauh lebih tersiksa sebagai orang tua yang kehilangan anak gadisnya yang langsung menghampiri dan mengelus rambutku yang tengah menangis. Aku memimpikan kejadian di depan mataku tersebut yang terproyeksi nyata dalam tidurku. Dan syukurlah kami kuat untuk melanjut hidup dalam semangat yang minus.
....

Sore sudah turun hendak mengencani senja, aku dan kru lainnya beranjak perlahan menyelesaikan tugas. Kami memang harus bekerja cepat, dan jika layak sekitar tiga hari kami akan melaksanakan uji nyali di sini, menyaksikan seorang yang coba menampak misteri yang buatku tak lebih mengerikan dibanding masa laluku di sana.

****

“Kembali lagi bersama saya dalam MISTIS, acara yang menampilkan kegiatan uji nyali untuk melihat hal gaib yang terjadi di lokasi penuh misteri. Kali ini kami berada di bawah sebuah pohon beringin yang disebut ‘Beringin Angker’ oleh penduduk sekitar. Konon, sebuah tragedi pernah terjadi di sekitar sini beserta penampakan-penampakan. Akankah di episode kali ini, mahkluk gaib tersebut muncul dan tertangkap kamera di sini?”

Narasi sudah keluar dari mulut host acara ini. Dan pada akhirnya lokasi ini dipilih, di bawah pohon beringin seseorang akan bolak-balik, diam, berputar-putar melakukan sesuatu untuk memancing gejala gaib di sana. Hanya satu hal yang tak kusetujui dalam hati, ketika kata “sebuah tragedi” diucapkan. Ya, bukan sekali, tapi berkali-kali untukku. Terlebih melihat peserta uji nyali kali ini. Muak!

Jono namanya, ia terpilih menjadi peserta uji nyali kali ini. Aku bingung bagaimana cara staf penyeleksi peserta memilih mahkluk satu ini. Dan untuk apa Jono ikut acara ini? Kupikir tak jauh dari ia yang kehabisan uang untuk mabuk, berjudi, dan melakukan hal bodoh lainnya.

Kebencianku padanya sangat beralasan, terlalu beralasan malah. Keluarga kami yang tinggal aku dan ibu sudah baik menjalani hidup, ia hadir sebagai perusak. Betapa tidak? Ialah menjadi contoh jahanamnya lelaku dari lelaki. Terjadi saat aku berusia 15 tahun. Ia mendobrak pintu rumah, dan masuk seenaknya. Ia masuk ke kamarku dan seolah mengulang tragedi lalu, ia menyerangku yang baru terbangun karena terkejut. Mulutnya bau alkohol, aku berontak, melawan, berteriak.

Kembali, kampung dikejutkan lagi oleh teriakan. Ibuku kembali terhempas saat ingin melepaskan aku dari tangan lelaki ini, dan aku mengerti mengapa perempuan wajib dilindungi. Sebab laki-laki terlalu kuat, perlawananku tak berarti, ia menamparku beberapa kali, tenagaku melemah. Ia mendorongku ke dinding, kepalaku terbentur, pandanganku gelap seketika.
....

Keadaanku menyedihkan, kepalaku berdarah, wajahku lebam seperti yang terjadi pada kakakku dahulu. Buruknya, telah ia renggut mahkotaku di pucuk nafsunya, lalu kabur. Kembali mentalku hancur, kupikir aku akan jadi gila. Bayangkan saja, secara sadar aku tak berhenti menggumam bahwa aku akan jadi gila. Jika kelenjar air mata bosan, ia biarkan aku menangis kering, tanpa air mata, tapi isak selalu penuhi ruangan tempatku berada. Di manapun itu.

Ibuku kembali membangkitku yang sangat jatuh, sabar sekali beliau menenangkanku meski beliau juga menderita. Aku kuat kembali, terlebih saat ibu mengajakku pindah ke rumah keluarganya di kota. Meski berat, ibuku menjual rumah tersebut. Walaupun memang tak ada yang ingin tertarik –ketakutan lebih tepat- membelinya, rumah peninggalan ayahku tersebut.

****

Dan sekarang Jono berada di tempat yang sama denganku, kemarahanku membuncah, meluap, terlebih saat ia tersenyum padaku saat kupandangi ia dengan tatapan sinis, penuh dendam. Ia mungkin tak lagi mengenaliku dengan segala kekurangajarannya yang laknat itu, sudah lama berlalu memang.

Tapi aku harus profesional, nanti saja kupikirkan amarahku. Usiaku 24 tahun dan dengan segala keterbatasan aku bisa kuliah dan mendapat pekerjaan seperti sekarang ini, aku tak mau merepotkan ibuku.
....

Uji nyali segera dimulai, Jono diberi bekal untuk konsumsinya hingga beberapa jam nanti. Sepintas aku berpikir andai aku yang menjadi staf konsumsi, akan kuracuni ia.

Jono diberi instruksi apa yang harus ia lakukan, para kru sudah meninggalkan kamera infra merahnya di sana-sini. Aku sendiri sejak awal hanya berdiri di depan monitor tempat para kru mengawasi peserta uji nyali.

- 00:00:13 WIB-
Uji nyali dimulai, tepat pukul 12 tengah malam. Jono duduk bersila sambil mengunyah snack dari kotak konsumsinya. Ia masih tenang.

-00:57:32 WIB-
Hampir satu jam sejak uji nyali dimulai. Jono mondar-mandir sambil sesekali memegang akar gantung pada beringin tersebut.

-01:09:21 WIB-
“Apa itu?” ujar salah satu kru dengan nada sedikit kencang. Hampir dari kami semua melihat, seperti asap putih sempat diam tak bergerak tepat di belakang Jono. Jono merasakan dan ketika lehernya menggeliat merinding, asap itu hilang cepat.

-01:58:55 WIB-
Kami merinding, akar gantung yang menjuntai lurus seperti huruf “I” itu mendadak bergerak. Bergerak seperti dilontar, bukan tertiup angin. Si bodoh Jono sok berani langsung bergaya kuda-kuda bak petinju lalu meninju-ninju akar gantung tersebut.

-02:07:33 WIB-
Kupikir bukan hanya aku yang berkeringat dingin seperti sekarang ini. Dua akar gantung yang berdekatan, tanpa ada apapun saling berkait ujungnya. Seperti membentuk huruf “U” dan berayun-ayun sendiri. Lalu diam, namun akar tetap terikat.

-02:27:59 WIB-
Jono menunjukkan kebodohannya, wajahku kian menunjukkan rasa benci, dalam hati seolah menyumpah-nyumpah melumat emosi. Jono dengan bodohnya duduk di akar yang ujungnya saling berkait tersebut. Mengayun-ayunkan dirinya. Seperti anak kecil yang bermain ayunan.

-02:39:42 WIB-
Bzztt..


Monitor kami rusak, kehilangan gambar dan mendadak seperti televisi tanpa saluran yang diacak titik-titik dan garis abu-abu. Nampak asap kecil naik ke udara dari lokasi Jono berada. Para kru saling pandang dan mulai resah. Aku tanpa basa-basi lari ke lokasi, mencari tahu apa yang terjadi.

****

Aku tiba, mataku membelalak. Seluruh kamera rusak, seperti dihantam batang kayu. Lampu-lampu yang dipasang di sekitar kamera juga hancur, kabel-kabel putus. Aku mencari Jono, mengandalkan cahaya dari lampu senter.

Aku menggeleng kepala. Jono masih di tempatnya, berayun di akar gantung. Andai aku tak kenal siapa peserta ini, mungkin tidak ada yang mengenali. Sebab yang berayun hanya tubuhnya, tubuh tanpa kepala. Darah menggantikan warna baju kaosnya yang semula biru menjadi sangat merah, bercipratan pula di akar-akar yang masih digenggam jari kaku Jono. Aku hendak berteriak, tapi tak bisa, suaraku tertahan. Deru langkah kru lain mulai terdengar.

Sorot senterku bergeser 60 derajat, di sanalah aku temukan kepala seorang Jono. Melayang, namun tak melayang sendiri. Wanita berkain putih panjang menentengnya, mengenaskan, mulut menganga dan mata melotot dengan nyawa yang hampa.

Aku menutup mulutku, aku melihat hantu, wajahnya mirip denganku. Dan itu kemiripan yang bisa nampak dari kesamaan gen. Aku tak percaya, lututku lemas, menghempaskan diri ke tanah, wanita tadi berbalik, entah melayang entah melangkah, melewati semak, masuk ke hutan, ditelan gelap, menenteng kepala, perlahan hilang.

Hilang.
READ MORE - Beringin