Ombak Rindu (Haimu)

senyummu laut
lapang menyusut senja
di pelupukku

pun rindu mengombak pelan, menghanyut perlahan


READ MORE - Ombak Rindu (Haimu)

APEL

entah rindu apa kau punya
hingga kau bawa aku pada
wangi embun yang sejuk dan
ranum?

betapapun senyummu kuingat pada
kabutkabut tipis tatkala embun perlahan
turun dan singgah
anggun di kulit apel yang basah

sebagaimana aku terkenang
sayupmu di antara dahan pohon yang tenang

dan aku, menanti
kau temui pun lembut kau petik
apel yang kugelantungkan bersama sebalas
rindu, apel wangi rindu



READ MORE - APEL

Sah?

saya terima nikahnya
jelita yang telah sedia menyimpan
titipan pelangi yang kukalung pada
manis jemari kiri menanda janji
sehidup
semati

dengan mas kawin
seperangkat pisau, gunting, dan pemotong daging
pula gerinda, gergaji, dan palu besi
kelak, kami gunakan untuk meranggas
memusnah bintik hingga ombakan lara
yang mencoba mematah menyelip usik
coba buat ingkar sucinya janji

pada pendar mimpi arakan semesta dan padu tetes waktu
pada pelupuk kisah mewadah teduh iringan hari

saya terima nikahnya
di hadap Tuhan yang hadir
sebagai saksi aksara yang lahir
dari sehujan doa yang mengalir

atas nama hati yang terajut satu demi satu
menuju bahtera menyambut salam sepasang janur
lengkungi bentangan anak tangga untuk kami
: sanggup menjejaki

sah?


====
Malang, 220510
Andi M E wirambara
READ MORE - Sah?

Pentalogi Jatuh Hati

: teruntukmu kembali, berkali membelai hati

1/
kupikir aku jauh lebih bisa
perhatikan banyak simpulsimpul
pita yang melekati rambutmu
daripada kubaca laku
anak perempuan yang
menyiap tikar dan alat masak
menimang boneka dan
memainkan jemari pada bibir
boneka yang ia bilang adalah
anaknya meski selalu
masih ia tanya
" siapa ayahmu, nak? "

2/
mungkin seperti syair sapardi. dimana memang aku menghendakmu sederhana apa yang adanya. tiada perlu menyoal kau asmirandah, sophia latjuba, pun magdalena atau seleb wanita yang tinggal condongkan dada, lulus satu syaratnya ikut pilkada.

sebab justru tiada satu
mampu meniru kau
pemilik mata yang terus saja
genangi mataku
dengan rindu


3/
kemarin, entah kemarin kemarinnya lagi. aku baca berita soal satukomadelapan trilyun untuk gedung mereka yang bertitel wakil dari segala rakyat yang katanya miring tujuh derajat. hingga buat tiga derajat milik pisa, menelan ludahnya.

aku jadi hendak tahu, tentang seberapa miring sudah otakku. kala pikirkanmu sejak embun belum pecah, hingga malam menyisa nafasnya. dan tiada hari tanpa itu?

4/
mungkin aku perlu berbahagia telah temui kau yang semula, kukira bidadari. sebab sementara tak perlu kucari sesungguh yang disebut bidadari, dengan meledak tubuh. pun andai tak kulakukan itu, mungkin telah kau lihat mayatku melambai tangan di atas tandu. dari televisi dan korankoran dunia.

5/
dan kututuplah dahulu segala
peristiwa baku yang membatas aku
rajutkanmu balut romansa
yang biasa lahir dari jemari
kusebut puisi

serupa kau
tiada sadar mencipta
senyum liontin yang lingkari
jenjang hati



=====
Malang, 15052010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Pentalogi Jatuh Hati

Kembali, Rindu

: Selyna

entah rindu apa
yang turun kala kubaca
lariklarik hujan yang tiba
dan menggelayut di pelupuk senja?

sementara terus aku benamkan
rerintih pilu yang menjuntai
di balik rintik yang menitik
pula senyum buta yang menyerta
hendak sembunyikanmu pada
lipatanlipatan air mata

namun tiada suatu mampu
mengusik aku yang terlanjur telah
tersenyum, berlalu di antara desir pepohonan
ialah menemuimu
rindu, yang berserakan di bawahnya

hingga rautmu perlahan
padaku menyisa baitbait lamunan
hingga turut malam menuntun
untuk saling jemari kita berpeluk santun

kau,
aku



==
Malang, 04052010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Kembali, Rindu

Surat Cinta yang Entah Romantis Pun Tidak yang Tiada Pernah Tersampai

Surat ini teruntuk(mu):
Sang bidadari / dewi / malaikat / permaisuri / pelita / jelita / cahaya / pujaan / ataupun putri yang tengah melamun sendiri pun tengah dalam dekap serigala / buaya / gurita / dedemit, dan sebangsanya. Terserahlah tersebut apa dirimu, jelas tiada sanggup mengkias puisi yang tersusun menjadi indahmu. Dan tiada keluhku, bagimu.


Aku hendak bercerita, sebuihnya!

Mungkin saja aku baru sekaliduakali saja mencicipkan suaramu pada daun telingaku. Namun tiada sekonyong berlalu sendu. Aku mengemas bulir suaramu ke dalam kotak hati, biarkan menggema-gema di sana. Hingga ada rindu yang terpantul, menyirat syairmu yang syahdu.

Kau yang begitu mampu meneduh gerahku akan rindu,
Andai aku begitu ahli menyulap kayu menjadi lemari. Maka akan kubuatkan satu untukmu, yang pada pintunya terukir sepasang merpati. Di mana kuselipkan namamu pada helai sayap mereka. Pun dalam lemari itu hanya kusimpan guci raksasa berisi suaraku, yang tiap bangun tidurku, kuteriakkan rindu di dalamnya.

Ketika aku memandangmu di balik jeruji jendelajendela kelas, dengan latar suara mono dari pengajar yang membuncah teorema kependudukan, politik kotor pun anarkisme di ranah bhinneka tunggal ika, yang kubayangkan adalah bagaimana aku mengkoalisikan aparatur hati yang kewalahan, hendak menghadang demonstran yang berontak memaksa untuk sekedar menyapa senyummu di belalak mataku.

Sudah jelas kau tiada pernah tahu, pun mengerti tentang saat pertama aku mulai memperhatikanmu dimulai dari mata, senyum dan seluruhmu yang tampak dari berbagai sudut proyeksi, sudut pandang ataupun menerkamu dengan limpahan metoda. Mulai dari teorika, doktrin, asas kebiasaan, norma-norma, pun penafsiran selayak aku meruak lembarlembar filsafat yang tersaji di rak-rak hati. Di mana ada ensiklopedi khusus tentangmu.

hanya kau perlu sadar
bahwa aku ingat sekali kapan
kau mulai membiusku
dari udara yang sama
yang kita hirup berjauhan


Sementara kau sibuk membaca titian kata yang menggenang di kelopak tanyamu, maka sesungguhnya tiada mungkin sanggup kau artikan satupersatu. Sebab akupun tengah menyalinmu dalam sebuah puisi di atas kertas putih bergaris, di daundaun hijau, di permukaan air kolam, ataupun di antara jaringjaring maya yang dibatasi bandwitch, problem koneksi, limit pakai, pulsa, ataupun billing warnet. Semua barang tentu serumit yang kau bayang yang bahkan tak guna kau pikirkan.

sebab cukup kau beri aku
tatap matamu yang dalam
terakumulasikan dengan senyum
yang khusus kau tuju
padaku
terjatuhlah segala lembar yang kutulis
ke lantai rasa
yang kau jejakkan di hatiku


Jika saja runtut waktu terbiasa mengeja, siapa saja yang tengah terpana oleh kau yang tengah diam saja, melamun lugu, maka ia akan meletak mataku di urutan teratas pada grafik yang menjulang dari kiri bawah ke kanan atas. Selayak deret perbandingan pencemaran udara tiap tahunnya, pun pencukuran hutan tanpa berwawasan lingkungan. Hingga begitu sulit, untuk manusia memenuhi sejuk alveolinya dengan udara segar. Dan paruparuku, mungkin tiada lagi merasa timbunan debu maupun asap kendaraan di sana, sebab aku menghirup bayangmu yang senantiasa menyejukku.

Kucukupkan dahulu,
Sesungguhnya hendak kukirimkan ini, menanda aku begitu mudahnya jatuh cinta pada fananya bola mata. Kau tentu.

Sekian dariku

*
pojok hati, hari ini bulan ini tahun ini
di bawah rintikan rindu yang tak kau tahu

tertanda dariku:

Pemilik jari manis tangan kirimu nanti




=====
Malang, 01052010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Surat Cinta yang Entah Romantis Pun Tidak yang Tiada Pernah Tersampai

Memoar

pohon asam
aku ingat bagaimana aku
merayu pujaan yang mula fajar
kunanti sejak setengahenam pagi
pun embun masih
senggamai dedaunmu

kau perlu tahu, mungkin
ia tiada lagi sama
selayak kuhapal nadi
gemerisikmu
tetes nafasnya berbeda telah
sejak lenyap jejakku
dipelupuknya

dan andai, helai daunmu mampu menyela
air mata
maka kuderaskanlah milikku
yang tak kujumpa tadahnya
:menitik, mengalur

hingga terpuas aku
kembali menjejak rindu di
bawah rimbunmu, saksikan
angin yang berpesan
tentang nelangsa pada daun rapuh
seanggun dandelion yang perlahan
lepas

membawa serta senyumku, jauh
ke tempat pujaanku kelak
membaca gores puisi yang lekat
pada pusara
dan ia
mengeja namaku di sana

.

---
Palangkaraya, 240410
Andi M E Wirambara
READ MORE - Memoar

[100 kata] Harapan Ibu

Bocah lima tahun itu tengah digantikan bajunya oleh sang ibu, hendak pergi bermain. Mengembun air mata sang ibu, menatap polos anaknya. Betapa ia banggakan buah hatinya ini. Miris, suaminya tak pernah kembali sejak pertengkaran dua tahun lalu. Terpaksa ia bekerja sebagai tukang cuci. Anaknya selalu ia titipkan, nyaris tak pernah dia urus. Namun perhatiaannya tiada pernah luntur.

Ia kecup kening anaknya. Menyalur harapan dan doanya. Bocah itu membalas, lalu beranjak.

Bocah itu lalu mengambil sepeda roda empatnya, mengenjot hingga bengkel depan rumah, duduk bersama sekelompok preman muda. Mengambil benda kecil dari sakunya, memantik ujungnya dengan api.

Asap mengepul dari mulutnya.



-
palangkaraya, 22042010
Andi M E Wirambara
READ MORE - [100 kata] Harapan Ibu

Akustik Rindu

melodial waktu
adalah ia memaksaku memangku
mendenting gitar harmoni lugu
tentang rindu
yang melekati senarsenar, syahdu

maka kurogoh saku, mencari larik lagu. tertera di sana
:senyummu. yang entah berapa kali sudah, kusisipkan dalam partitur-partitur hati, mengisahi tentang nadamu. melengking berlipat oktaf dari jeritku. masih, jerit rindu.

ialah jemariku
terbata membagi nada
segala notasi yang kucatat
dari mata
pun rona pipimu yang
membuyar ritmis

hingga tiada dipungkiri, baitbait namamu mendurasi lenting laguku. yang memejam menghayat tiap simfoni senyap sendu.

dan teralun, akustik rindu
ketukan masa, memadu petikan hati
setembang senyum kucipta telah
teruntukmu,
yang pada lamunku
mengiang merdu
selalu


READ MORE - Akustik Rindu

Dengar Ha(t)iku

# 1

Pada belukar
Angin mengendap lugu
Menyiul waktu

# 2

Pigura langit
Mendung menggumpal hati
Rindu merinai

# 3

Senyummu laut
Lapang menyusut senja
Dipelupukku


--
Malang, 190310
Andi M E Wirambara
READ MORE - Dengar Ha(t)iku

Gegalau Hening

Sepi
Anganku berlari menuju pagi
ku rajut mimpi bersama khayalan ilusi

Tiada pula mimpi
Membawa seserpih senyum
Yang hadir bersama embun
Hanya hening,
Temani gerutu

Mengoyak gundah silih berganti
Menyandar asa pada cahaya
Bersama belai sang surya
Lembut
Bisikkan ilusi kelak jadi nyata

Aku mengetuk dinding
Yang memisah
Antara aku
Dan ilusi
Pula mimpi yang cemburu
Sebab asaku ada di situ

Tuhan,berikan aku
Lembarlembar kesabaran
Agar sanggup aku
Puas menumpah duka
Pun mencaci tiap pilu
Dan luka

Tempuh sinar-Mu
Seutuh aku
Kau cipta


( Maka hindarkan aku
Dari sepi
Dan segala gemuruh
Sesunyian hati )


----
Puisi kolaborasi :

Andi M E Wirambara - Silsilya Cicy

Sudut Sunyi, 160310
READ MORE - Gegalau Hening

Ketika Tak Lagi Kau Mau Bicara

/1/
kau tahu telah
tiada jernih pun satu dari
nafasnafasku
bukanlah sama seperti
airmata ibu
yang mengecup mimpi pada
bayi yang baru
mengosong rahimnya
usai sekian jerit lalu

/2/
sebagaimana selalu aku menyapa
raut pipimu yang santun bicara
tentang hati
yang menggenang air di matanya
dan aku menyanggup
menyeka tetestetes yang turun
:mewujud saputangan
sebelum bibirmu menyapanya pelan


lalu kenapa masih kau diam?

/3/
heningmu adalah tanyaku tiap malam hari
dan kujawab sendiri tiap satu purnama
maka bisa kau hitung sendiri
berapa tanya yang menumpuk
saat kau bungkam
pun aku menanti saja
kapan kau jawabkan untukku?
(ah, tanyaku bertambah lagi satu)

/4/
kupunguti katakata
pula serpih khilaf milikku
yang tercecer didekat kakimu
sambil merunduk kepala

untukmu bisa injak kepalaku
pada tanahtanah
dan melepas nyawa yang
lebih lantang padamu
mengucap

: maaf,
aku.
READ MORE - Ketika Tak Lagi Kau Mau Bicara

Harmonika Lelaki Sepi

harmonika
telah lekat ia pada bibir yang
mengatup
menada menyusur tiangtiang malam


: pada rerumputan
embun hendak turun, menyusur sisi ilalang
yang tajam
mengiris nadi
ia nada rerumputan; merunduk

: pada bintang yang bergandengan
rasi bersenandung
mengangguk kepala
meniti
rangkai melodial langit
lelangit merdu

: pada bulan yang ringkih
menyapa ia,
menyiul sepi bersama sembilu angin
merayap
merayap lirih

sendu,
pada damaiku

( dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi )


damaiku


-----
Malang, 28 februari 2010
Andi M E Wirambara


READ MORE - Harmonika Lelaki Sepi

Ini Pilu

ini hati terlampau hening
ada onggok pilu bercumbu
di balik tiraitirai rindu
yang mengendus menggerutu
hendak menampar bolakbalik waktu

ini pilu
telah lama kusimpan dalam peti
pun kuncinya ku telan dalam lambung
agar tak pernah lagi terbuka hingga
kau hantamkan peti itu hancur
ke kepalaku
dan membiak lalat padaku
yang telah kaku
bisu

tergeletak diam
tersapu kelu aku, memaku

untuk menantimu
masih kurang sekali
hingga tigakali kau
langkahi mayatku

maka kutarik kau ke dalam kuburku!
READ MORE - Ini Pilu

Surat Sederhana Untuk Bidadari

/1/
teruntukmu,
bidadari yang menyelendangkan sayap
di bahu hati


suatu ketika aku terbiasa mengoret puisi
dari helai rindu yang tergeletak di atas meja
ia merekah sinar, memijar kata
pun bisuku terbata
dimana siluetmu muncul di depan mata
dan mulailah
kususun satusatu
bait dari bulu mata yang jatuh ke pipimu
di lembar waktu

/2/
dari mata turun ke hati
dari kata meluncur ke hati
semua ke hati
pun hati tak goyah berpindah
mengalir pada rasa
selayak kau yang turun dari sesurga mimpi
di rintik pertama
langit hatiku
yang kerontang pun retakretak tanahnya

/3/
hai, bidadari
mau kuapakan selendang
yang telah meliliti hati ini?
yang tak mau untuk kucuci
sebab wanginya masih tertinggal
asal jangan kau ambil kembali saja

aku hendak meluap rasaku
pun kau telah mudah mengintipnya
dari nirwana tembus ke sudut hati
hanya bagaimana
jika kusebut namamu di sini,
arjuna pengawalmu mendatangiku
ke bumi?

perlukah kubunuh satusatu?
lalu kupatah tiang penyangga langit
agar kau jatuh bebas
pada pelukku?

/4/
kulipat kertas suratku
berbentuk pesawat terbang
untuk menyampai isinya padamu
menerbangkannya
ke kayangan tempatmu berada

(hanya aku heran,
mengapa pesawat ini justru terbang berbalik
mendarat ke jidatku? )


----
malang, 09 februari 2010
Andi M E Wirambara

Teruntuk Sang Dewi yang kupikirkan selalu
READ MORE - Surat Sederhana Untuk Bidadari

Adalah Kau

adalah matamu
buatku terus saja
:memagut senyumku di bibirmu

tak cukup kias pelangi mengalung langitmu
dan hatimu,
labirin tiada pintu
mematunglah aku! kau pesona bola mata
mengurung hatiku di sana
di bibirmu
wahai pencipta rindu

hingga adamu
buat menyadari
di mana nyali?
memanja di hadap senyum
tiada cela
perkasaku pun lari
berpura tenggelam di antara
gelembung debar hati

sebab adalah hadirmu
terus saja membuat
: nyaliku bersembunyi di balik pintu




--
Malang, entah kapan, 2009 atau 2010 pun aku lupa
Andi M E Wirambara

READ MORE - Adalah Kau

Teruntuk (mu) dan Euforia Rindu (ku)

Kuntum rindu melenggak di balik waktu
Mengerang tiada menyahut sendu
Teruntukmu, yang menari di pucuk embun
Adakah kau kesalkan waktu?
Dan lontarkan saga di helai detaknya
Selayak kau titipkan senyum
Di sana,
Relung sekanvas hati

Adakah mampu mencekik waktu?
Mengumpat, mengutuk euforia angkuhnya
Jadi batubatu laku tersusun syahdu

Untuk menjejak langitmu,
Dewi
Temui siluet matamu
Meramu aksara peribahasa rindu

READ MORE - Teruntuk (mu) dan Euforia Rindu (ku)

Bukti, Seharus Apa? ( Oretan Merujuk Gombalisasi )

PELANGI


kau tanya aku kenapa
menolak membukti kuat cintaku
dengan melurus pelangi yang
melengkung
sedang tak ada kait
antara aku, kau dan pelangi

atau kau hanya resah
kukata ia lebih indah?
kau hanya perlu
mengerti
lengkung senyummu lebihlah cukup
mewarna hati setelah

penolakanmu menggerimisku





TOILET CANDI

seribusatu candi kau minta
aku buatkan untukmu sebelum
pengajian subuh di masjid
sebelah rumahmu mendengung

sementara kau
tak tahu sudah banyak
toilet kubangunkan untukmu
pun sekarang jumlahnya
sepuluhribu
agar dimanapun kau
kurayu
telah siap tempat untuk
: menumpah isi perutmu

(dibanding candi, untuk apa?)




MEMBELAH

kau bilang masih
takut hatiku membelah diri
sekalipun telah kumantap
yakinmu dengan serumus sugesti
serta katakata

kumahfum ragumu
akanku sebagai lakilaki
tapi kenapa harus kau
samakan aku
dengan amuba?

--
Palangkaraya, 210110 21:03


MASIH KAU SIMPAN HATIKU

: di kantung bajumu

sebagai barang bukti
cintaku
semoga tak lupa kau
keluarkan sebelum
bibi cucimu membilasnya



LANTANG!

kunyatakan cintaku
kau yang minta
membukti rasaku dengan
berteriak menyatakan
pun hingga putus urat leherku

maka kulakukan
sambil menjepit jemari di sela pintu



JANGAN LAGI MINTA BUKTI...




....segalaku padamu
sedang disampingku pun kau
sudah buat hatiku lari
sembunyi dibalik nyali
menyiap mesiu
pula peluru
yang meletup merdu

: menyayangimu,
aku.....


--
Palangkaraya, 210110 21 : 25
READ MORE - Bukti, Seharus Apa? ( Oretan Merujuk Gombalisasi )

Aku Suka Dia, Aku Harus Apa?

Tak ada yang berbeda di keseharian aktivitas mahasiswa di gazebo terbuka belakang gedung salah satu fakultas di kampus ini. Kebanyakan di tempat nyaman itu memang menghabiskan waktunya untuk bersantai menanti kelas selanjutnya. Entah mengobrol, sibuk dengan handphone masing-masing, menghisap batang rokok, sibuk menyelesaikan tugas kuliah yang hanya tersisa lima menit sudah harus dikumpulkan, ataupun sibuk melamun menatap tetes-tetes air yang jatuh dari ranting pohon, dari sisa-sisa hujan yang baru saja usai.

“Maksudmu apa? maumu apa? hah !?“
“Lha? Bukannya barusan kubilang?“ 
“Kamu bercanda kan, barusan?“ 
“Ayolah sob! Masa aku bercanda?”

Di antara latar segala pikuk di gazebo itu, dua orang laki-laki yang bersahabat tengah berbincang hangat, dan semakin jarum jam berdetik, kian terlampau panas obrolan mereka. Ya, lelaki yang bertanya dengan nada meninggi serta menahan geram adalah Irwan. Dan lelaki yang menjawabnya santai, bahkan terdengar kurang ajar di telinga Irwan, adalah Faldy.

“Gimana, Wan? Pacarmu itu lho, yang kamu kenalin aku kemarin, Riana, kayanya aku suka sama dia. Gimana nih Wan, aku harus apa?“. Tambah Faldy lancang dengan mata dan senyum sinis yang menyebalkan, kedua pundaknya pun ia naikkan.

Irwan kian panas, emosinya kian membuncah, meriak. Sudah tentu ucap Faldy barusan memprovokasi hati Irwan. Bahkan jika ada malaikat dan setan yang terbang di pundak kanan dan kiri seperti yang sering muncul pada cerita kartun atau animasi, sang malaikat mungkin dengan sengau berujar “ Sesukamu saja, bunuh sekalian. “ dan setan yang tersenyum, mengasah tombak mata tiganya.

Sebenarnya Irwan sudah begitu paham, tentang lika-liku Faldy . Mereka akrab sejak kelas 3 SMA, dan masuk ke universitas serta jurusan yang sama. Faldy adalah sosok cerdas, tampan dan angkuh, daya tariknya yang tinggi membuat ia besar kepala, merasa mampu mendapat hati siapa saja dan sebagian kawannya menganggapnya gila. Ia dikenal sebagai pembuai hati perempuan sekaligus iblis bagi mereka kaum hawa. Ia yang sudah berkali gonta-ganti kekasih bahkan tidak ingat jelas siapa saja yang pernah ia pacari. Hampir tidak pernah serius dan main-main saja. Dan jika bosan, ia tinggalkan begitu saja. Ia juga tidak segan dan enteng untuk merebut kekasih orang lain yang disukainya. Otaknya yang pintar dalam akademik maupun keseharian, berbanding terbalik dengan kelakuannya yang liar.

Dan Irwan, baru saja menyadari bahwa mengenalkan Riana, kekasih barunya kepada Faldy adalah kesalahan besar. Faldy sudah tidak lagi peduli Irwan adalah sobatnya, sebaliknya justru Faldy terang-terangan menyatakan kalau ia juuga menyukai Riana. Kelancangan yang juga menantang, mungkin.

Hal lain yang Irwan kenal dari keakrabannya dengan Faldy, adalah mata. Dari sana Irwan melihat, Faldy tidak sedang bercanda.

“Kamu cari mati?”

Irwan benar-benar marah, ia kepalkan tangannya mengumpulkan tenaga yang lahir dari amarahnya. Nafasnya ia tarik dalam dan dihembus cepat, kepalanya panas, terlebih telinganya, matanya yang melihat picingan mata Faldy turut menyumbang geram, dan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Irwan.

”Kenapa? Ya kalau kamu mau hajar aku, hajar silakan... pukul sekarang, tapi aku langsung datangi Riana, bilang kalau kamu sudah kasih dia ke aku. Atau kamu mau aku main sehat. Aku kejar Riana, deketin dia, dan kamu bentengi saja dia.. Gimana?“

Faldy memainkan emosi Irwan, tantangan konyol seperti ini bisa membawa Irwan pada alur permainan Faldy, ia sudah bisa mengira, kalau orang emosi seperti Irwan akan memilih salah satu dari pilihan yang diajukan Faldy. 

“Ya sudah, sana!”

Irwan dengan nada geram dan penuh emosi, nampaknya telah memilih untuk membiarkan Faldy mendekati Riana. Irwan begitu yakin Riana tidak akan goyah dan jatuh ke pelukan lelaki kurang ajar di sampingnya ini. Di sisi lain Faldy kian tersenyum lebar, nampaknya ia akan segera dapat pacar baru lagi.


****

Senja sudah berpamit usai menuntas tugasnya membenam rentetan fajar hingga terik hari. Pun ia melangkah menepuk pundak bulan yang berpapasan dengannya hendak berganti giliran tugas. Dan bulan telah duduk pada tempat nyamannya, di antara debu-debu dan asap kendaraan yang naik dari bawah, sedikit mengganggu nafas dan memerihkan matanya pada tugasnya menerangi malam kali ini. 

Jauh di bawahnya, gadis yang terkenal manis tengah berdiri seraya sesekali melirik jam yang terkalung di lengan kirinya. Ialah Riana, yang nampaknya malam ini akan pergi keluar bersama Irwan.

“Hai, Na...” suara lelaki mengejutkannya.
“Faldy? Ngapain di sini?” jawab Riana kepada lelaki yang ternyata, adalah Faldy.
“Lho? Irwan nggak kasih tahu ya?” balas Faldy.
“Kasih tahu apa?” Riana penasaran.
“Irwan kan bolehin aku deketin kamu. Dia setuju aku boleh deketin kamu dan dia tinggal jaga kamu dari aku, itu aja.. “ ujar Faldy dengan ceplas-ceplos khasnya.
”Maksud kalian itu apa, Dy? Faldy, Irwan kan teman kamu.. “ balas Riana yang terkejut.

Hati Faldy mengembang, senyum liciknya membuka kembali. Di telinganya, kata-kata “Irwan kan teman kamu..” yang diucapkan Riana memiliki arti “Sebenarnya aku mau, tapi aku sudah ada Irwan, dan Irwan temanmu. Aku tidak enak. “
Faldy merasa jalannya akan sangat mulus. Andai Riana dengan lantang mengucap bahwa ia tidak membolehkan lelaki lain mendekati hatinya lagi, mungkin Faldy akan mencoba memakai cara lain. Yang jelas, apapun jawabannya, Riana sudah dalam lingkup perangkap Faldy yang begitu menjerat. Hingga sulit untuk lepas darinya.

“Kamu ngapain di sini?” ada suara mengejutkan mereka
“Ah, Irwan... Dah, Riana.. aku balik dulu, ntar aku telpon ya...” ujar Fadly yang sesaat menoleh lalu berpamit dan berlalu pergi.

Irwan yang baru saja datang. Raut wajahnya tidak menunjukkan keramahan sama sekali, kemarahan yang bercampur dengan rasa tidak percaya, bahwa Faldy benar-benar melakukannya. Sebagai penanda, bahwa tidak ada lagi toleransi kebaikan hati untuk Faldy. Matanya menatap tajam dengan penuh benci, dendam dan gusar. Riana diam saja, ia gugup, takut, dan juga sedikit bingung. Irwan hanya menatap Riana yang berdiri menunduk, merangkul pundaknya, lalu pergi. Tanpa sepatah kata.

Mereka pergi ke sebuah cafe, mungkin selain berkencan, Irwan hendak bermaksud membicarakan Faldy kepada Riana. Jelas Irwan begitu khawatir, meski Riana adalah kekasihnya, ia dihadapkan lawan yang berbahaya, nekat, dan tidak tahu diri. Kencan yang seharusnya penuh kemesraan dan romansa itu justru menjadi pembicaraan yang gelap, serius, dan berat. Irwan nampak begitu kebingungan atas keputusan yang ia buat, membuatnya tak leluasa. Sedang di sisi lain ia harus menjaga kebebasan Riana, sebab Irwan khawatir jika ia terlalu kelewatan membatas Riana, justru Riana akan merasa tidak nyaman dan hatinya akan mudah digoyahkan oleh Faldy. Riana mengerti, tapi keadaan ini benar-benar membuatnya bingung. Sangat kebingungan.

“Jadi mulai sekarang aku bakal periksa semua SMS, inbox, sama log panggilanmu. S-E-M-U-A!“ ucap Irwan di sela bicaranya dengan Riana.
“Kenapa gitu? Aku bukan anak kecil, Wan. Aku bisa jauhin dia kok. Kamu percaya sama aku, kan?“ balas Riana.
“Bukan gitu Riana, aku percaya kamu. Cuma jaga-jaga.” Irwan membela diri.
“Sama aja, kan? Kamu nggak percaya aku.” Tambah Riana.
“Kamu kenapa, Na? Cuma periksa gitu ngotot nggak mau. Atau kamu memang sembunyiin sesuatu?” Ujar Irwan dengan nada meninggi.
“Seenaknya! Kamu yang ngotot! Kenapa kamu kaya gini? Aku sama sekali nggak sembunyiin apa-apa? Jangan ngekang aku, Wan!” balas Riana tak mau kalah.

Irwan tidak melanjutkan kata-katanya, ia mulai menyadari emosinya kembali naik. Orang-orang di cafe dengan kepura-puraan mereka terkadang melirik ke meja Irwan dan Riana yang bernuansa pertengkaran. Irwan mengacak rambutnya sendiri, panas, dan bingung. Tanpa sepatah katapun, ia beranjak meninggalkan cafe sendirian. Riana yang juga emosi, membiarkan dan kebingungan sendiri di mejanya.

“Kamu sudah paham, kan? Ketika laki-laki dan perempuan saling beradu ego, maka hal yang tentu menjadi awal adalah pikiran untuk memenangkan ego masing-masing, dan takkan berhenti sebelum salah satunya mengalah.“

Riana terkejut mendengar kalimat yang mendadak muncul tersebut. Faldy datang dan duduk di hadapan Riana, di kursi yang sebelumnya ditempati oleh Irwan.

“Kamu lagi, ngapain ke sini?” Tanya Riana yang nampak geram dengan kehadiran Faldy.
“Aku dari tadi di sini, duduk di meja di sebelah sana.” jawab Faldy seraya menunjuk salah satu meja.

Meski memang sudah sejak awal Faldy sudah tahu, bahwa Riana dan Irwan akan ke cafe tersebut. Faldy sengaja membuatnya “tak sengaja” bertemu Riana, selalu. Dan pertengkaran mereka barusan, mungkin telah menjadi satu poin dari deretan skenario mendapatkan Riana dalam agenda liciknya.

“Kenapa di antara kami, kamu muncul?”

Ucap yang dilontar Riana dengan wajah peluh, murung kepada Faldy di hadapannya kini. Lelaki yang muncul seperti benalu yang tumbuh di bunga lily, tepat di kelopaknya. Atau seperti hama wereng yang mengacau cinta petani dan sawahnya. Padanan hati yang mulai terhambur dari kisah Irwan dan Riana, nampaknya mulai berhasil dilakukan Faldy. Hubungan Riana dan Irwan yang belum sampai dua minggu, mudah sekali untuk digempakan keras oleh Faldy.

“Aku muncul, sebab Irwan yang membolehkanku. Aku sudah jelas mengatakan tadi, bahwa aku ingin mendekatimu. Aku tak perlu menutup apapun, terang-terangan saja. Aku menyukaimu, hanya Irwan sudah merengkuh dirimu lebih dulu. Apa dengan begitu, orang lain yang menaruh hati padamu sebelum itu, padam begitu saja dan hilang? Aku tahu, kamu sudah mengetahui perilakuku terhadap gadis yang kusukai. Jadi sedikit sulit mungkin meyakinkanmu macam-macam. Hanya saja, aku punya keyaninan, bahwa sepantasnya hatimu. Dititipkan padaku. “

Riana, antara mendengar, sayup mendengar, ataupun tak mendengar sama sekali kata-kata barusan yang memang terasa begitu gombal. Sebab Riana tetap, murung. Tapi setidaknya, ia mulai merasa jika Faldy sang masalah, adalah pintu keluar dari masalah itu sendiri. Memang, Riana mulai membayang suatu pertaruhan. Dalam pikirannya terbesit, ia akan memasukkan Faldy sebagai salah satu dari pengisi hatinya. Entah itu pintu keluar, atau justru pintu masuk ke masalah yang lebih besar.

Faldy merengkuh tangannya, Riana tetap tak bergeming tanpa ekspresi yang berbeda. Jemarinya kian dimainkan Faldy, dan ia begitu kosong saat Faldy menatap matanya dalam. Entah bagaimana itu menghanyut, malam itu, Riana setuju untuk diantarkan pulang oleh Faldy.

****

Gazebo, kembali menjadi saksi dua orang tengah saling bantah, saling bela. Masing-masing dari mereka mencoba untuk saling meyakinkan. Irwan dan Riana, kejadian semalam sepertinya memberi bekas yang panjang. Riana yang kesal pada Irwan yang pergi begitu saja. Sementara Irwan masih sangat kesulitan membuat Riana menerima permintaan maafnya.

“Ya sudah, yang penting kan Riana pulang dengan aman. Tanpa luka tanpa lecet.“

Irwan dan Riana menoleh, bisa ditebak siapa pemilik suara itu. Faldy, yang lagi-lagi mencampuri perkara mereka.

“Setan! Ngapain lagi kamu di sini, hah?“ bentak Irwan.
“Sabar bang, harusnya terima kasih dong.. sudah kugantikan tugasmu ngantar Riana pulang.” Jawab Faldy masih dengan nada remehnya.

Irwan terhenyak, ia terkejut, memalingkan pandangannya pada Riana. Riana menunduk, kembali ia palingkan wajahnya pada Faldy. Mukanya memerah panas, emosi meletup mengalir pada darah dan masuk ke otak yang menyambung pada syarafnya. Tak tertahan, tinjunya melayang pada Fadly dan dengan spontan Faldy menyilang lengan di depan wajahnya, menangkis pukulan Irwan. Faldy tidak membalas, sedang pukulan bertubi masuk pada tubuhnya. Riana mencoba melerai, namun ia justru tersikut Irwan yang sudah gelap mata untuk menghajar Faldy. Ia tersungkur, beberapa orang menghampiri dan membantunya berdiri. Makin ramai di gazebo tersebut orang berkumpul. Beberapa mencoba melerai, sisanya menonton dan menyoraki. Irwan tak bisa dihentikan, ia mengambil bongkah batu, menghantamkannya bertubi pada Faldy. Faldy terus menutupi wajahnya dengan kedua lengannya, tanpa perlawanan.

Tak lama tiga orang satpam datang dan memisahkan mereka. Irwan masih mendengus geram. Faldy sendiri menunduk kelelahan dengan lebam yang nampak di sekujur tubuhnya. Di antara pikuk, sesaat bibir Faldy menyunggingkan senyum. Pun hatinya, tersenyum lebar.

****

Keadilan adalah omong kosong besar. Apa yang tampak itulah yang disodorkan, tanpa turut menimbang yang kasat, tanpa mengawang muslihat di dalamnya. Setidaknya itu yang tengah dirasakan Irwan sekarang, ia benar-benar tidak percaya ada manusian se-iblis Faldy. Tak puas merusak hubungannya dengan Riana, dibesarkan pula masalah yang semula berupa riak. Pasal 184 KUHP tentang perkelahian satu lawan satu dan berbagai pertimbangan yang memacu palu itu diketukkan. Vonis penjara dijatuhkan pada Irwan ditandai pula dengan keterpaksaan saksi mengakui kebenarannya. Para saksi yang tak lain mahasiswa yang berada di gazebo ketika perkelahian. Kebanyakan mereka tahu Faldy dan tidak menyukainya. Hanya saja, kebenaran yang terjadi adalah Faldy yang seolah tidak mampu melawan Irwan, seolah ialah korban yang tak berdaya.

Irwan tak tentu galaunya. Dalam kepalanya ia melihat Faldy menertawakan dirinya di balik jeruji besi, pun Riana yang tak lagi mau memandangnya. Galaunya bertambah ketika ia melihat kenyataan, dikeluarkannya ia dari universitasnya, ditambah pula catatan hukumnya yang membuatnya tak akan menerima Surat Tanda Berkeluakuan Baik dimana akan menghalangi kehidupannya kelak. Ia merasa hidupnya hancur.

“KEPARAT!! SINI KAU! PUASKAH SUDAH? PUAS?? “ Irwan mendadak berdiri dari kursi terdakwanya, menunjuk dendam pada Faldy. Meski petugas menahannya saat ia ingin melangkah menuju tempat Faldy.

“Kamu tak ada pantasnya disebut manusia! Aku tak bisa bayangkan apa yang bakal kau lakukan pada Riana! Lihat saja! Dia tak layak denganmu! “ tambah Irwan.

“Oh ya? Layak seperti apakah? Kau pikir dirimu selayak apa? Wahai sobat psikopat, yang menentukan seseorang layak atau tidak untuknya, adalah keyakinan hatinya sendiri, bukan kau!” Faldy terpancing, kali ini dia merasa bebas bicara.

“Keyakinan hati bukan suatu yang mutlak, bung! Contohnya sialan sepertimu! Dengan banyak cara busukmu kau mainkan keyakinan hati mereka yang kau inginkan. Tapi tidak untuk nurani mereka! Kau tidak bisa mempermainkannya, terlebih menipunya! Kau pikir cinta, hati, dan perasaan itu untuk main-main, hah?” balas Irwan.

“Persetan! Tahu apa kau soal cinta? Sejauh apa kau bisa bicara nurani? Sedang nuranimu sendiripun sering kau acuhkan tanpa sadar. Mereka juga bicara, sobat! Bicara! Dan aku mampu membungkam tiap nurani itu. Segala yang kulalui adalah perjanjianku dengan nurani, hingga kelak kutemui kesejatian hati!” Faldy balik menyerang.

“Konyol! Kata-katamu buatku muak! Takkan pernah kau temukan kesejatian hati yang kau maksud selama kau mainkan terus perasaan orang lain. Kesejatian tak sama dengan kepemilikan, dan cara kotormu adalah cara untuk memiliki demi kepuasanmu saja! Nuranimu bahkan menyesali keberadaannya bersama orang sepertimu, tuan munafik!” ujar Irwan lantang.

“Jangan sok bicara! Kau adalah kau dan kau tak tahu sedikitpun soal aku! Buatku memiliki adalah keharusan dalam cinta, bagaimanapun itu, atau kau siksa hatimu dengan suatu hampa. Hampa yang menganga dan luka bisa masuk kapan saja!” kembali Faldy melawan.

“Lalu kenapa harus Riana? Harus kekasih orang lain? Begitu parahkah dirimu mencari orang hingga kau ingin miliki kekasih orang? Kau tak tahu rasanya!” Irwan terus membalas.

“Kau sendiri tahu rasanya jadi aku? Ketika orang yang begitu kau cinta lebih dahulu direngkuh orang lain? Mengalihkan hati, lalu melupakan kesan lama? Kau pikir semudah itu? Berarti sama saja mempermainkan perasaan, mempermainkan hati sendiri! Bukankah itu kata-katamu barusan? Sama saja, kau munafik!” hujam Faldy.

Adu mulut itu terus berlanjut dan tentu membuat ruang sidang riuh dari peserta sidang dan petugas segera membawa Irwan ke selnya, di antara mereka Riana hanya menangis dan beberapa temannya mencoba menenangkan. Entah apa yang membuat kisah hidupnya seperti ini. Dia tidak tahu dipersimpangan mana ia salah melangkah, dan parahnya, ia tak tahu harus apa.

Faldy yang melangkah pelan menuju Riana, memegang kepala Riana, lalu memeluknya. Riana masih tersedu, ia tak percaya dengan semua yang dialami. Satu hal yang pasti, bahkan disadari atau tidak, Faldy sudah menjadi kekasihnya saat itu juga.

****

Malam, selalu berkisah tentang bintang, bulan, dan mimpi. Kadang pula tentang sunyi dan kelam. Dan malam, berkisah pula tentang kali ini, di balik atap biru tua tempat Riana tinggal. Di ruang keluarga, di depan televisi Faldy tengah merangkul Riana.

Lebih setahun sudah sejak kejadian yang melibatkan tiga hati tersebut. Lebih setahun, menandakan kali ini Faldy benar-benar serius akan hatinya dengan Riana. Sebab jauh sebelum ini, Faldy selalu main-main dalam hubungannya. Kurang dari sebulan, bahkan seminggu, telah ia tinggalkan kekasihnya.

“Fal, belakangan aku keinget kejadian dulu. Kejadian Irwan, entah kenapa.” Ucap Riana di tengah mesra mereka.
“Kamu ga usah ingat-ingat lagi, kamu cuma trauma. Lupakanlah, aku sedikit khawatir ingatan kecil seperti itu mampu mengganggu kita.” Ujar Faldy seraya membelai rambut Riana. 
“Tapi, kamu tahu, kan? Siapa yang buat trauma itu..” lanjut Riana.
“Maksudmu? Kau rindu si Irwan itu? Menyalahkan aku?” ujar Faldy, mendadak cemburunya terpancing.
“Maaf Fal, tapi iya.. andai kamu tidak hadir di antara kami, mungkin aku sekarang tidak berada dalam sebuah kesakitan gara-gara masa lalu.” Aku Riana.

PLAKK!!

Faldy melayangkan telapak tangannya keras pada Riana. Cemburunya terbakar, tanpa pikir panjang itu ia lakukan.

Faldy lalu membekap mulut Riana dengan tangannya, ia tampar lagi pipi kiri Riana, Riana menangis. Tapi Faldy justru mendorongnya hingga Riana terbaring ke sisi sofa. Riana berontak, meski tak bisa apa-apa setelah menyadari Faldy mulai melepas satu persatu kancing bajunya. Riana memberontak lagi, namun Faldy lebih garang. Bola matanya kosong, terisi amarah, dendam, dan nafsu. Riana tak mampu pula untuk berteriak.

“URRRGGHH..!!!” Mendadak suara Faldy tertahan, di lehernya terkalung sebuah tali. Ia tak bisa menoleh, Riana terkejut. Irwan mengencangkan cekikan talinya di leher Faldy dari belakang.

“Ka...kamu..sii..ugghh!!” kata Faldy terbata, wajahnya makin memerah.
“Maaf, Faldy. Ini tentang Riana, aku menirumu boleh, ya? Aku suka dia, dan aku tahu aku harus apa.” Ucap Irwan dengan senyum sadisnya. Ia memang sudah bebas dari hukuman penjaranya. Nafsu membunuhnya muncul ketika menyadari keberadaan Faldy di rumah Riana ketika ia ingin mengunjungi Riana.

Irwan mengencangkan cekikan talinya, Faldy tak lagi bicara. Ya, ia tak lagi bernafas. Sedang Riana, masih dengan air mata yang menggenang, menatap takut Irwan, ia hendak teriak, tapi mulutnya dibungkam kembali. Kali ini bibir Irwan yang membungkamnya. Dan malam itu, menjadi malam paling hening. Bersama mayat yang tak lagi bisa melihat, apa yang pembunuhnya lakukan pada kekasihnya, dan tak tahu lagi...
...harus berbuat apa.



READ MORE - Aku Suka Dia, Aku Harus Apa?

Aksara Laut

kerangkarang hati
mu karang pengerang hati
ku
mencinta kian garang


tak pula memantra ombak
pula tak lalu melucuti riak
pada laut yang berpindah
: ke bibirmu

secumbu metafora laut 
pesisiran
semilir
mengombak
sekiasnya melabuh romansa

pada kita
aksara laut yang saling
membaca
tentang matahati yang kuterbit
di senyummu
hingga sesenja rasa yang kau benam
dimataku


( dan kita aksara laut, jejari ombak mana yang sanggup menghanyut? )


----
Aquanos Cafe
Malang, 16 januari 2010

Andi M E Wirambara



READ MORE - Aksara Laut

DIARY - LIKUMU, EVI

Buku bersampul merah muda dengan gambar seorang gadis yang tengah memberi makan burung kecil yang hinggap di jemarinya itu digenggam seorang lelaki. Perawakannya gagah dan berwajah tampan, ia duduk di depan tendanya. Sebuah diary, diary yang bukan miliknya, melainkan milik seorang gadis, bernama Evi. Nampaknya masih baru. Ia mulai membaca lembar-lembar diary tersebut. 


****
Kamis, 21 maret

Dear diary, 
Tahukah kau? Aku begitu senang siang tadi! Ia begitu menarik perhatianku, ketika sedang makan sekalipun. Dan ia ada di depanku! Bayangkan, aku makan siang bersamanya. Berdua saja, hanya berdua. Posisi kami saling berhadapan, sesekali matanya melirik manis padaku. Ah, aku cuma bisa menatap meja sambil tersenyum malu. GR? Kupikir tidak, toh hanya aku yang ada di depannya, dan aku memang sudah mempersiapkan diri semanis mungkin sebelum mengiyakan ajaknya untuk makan siang bersama.

Pemalu, polos, manis, dan menggemaskan. Itu beberapa kata yang kupikir-pikir lumayan gombal yang ia ucapkan untuk mendeskripsikan aku. Mungkin benar, tapi kau tahu? dihadapannya saja aku merasa seperti ini. Tapi kurasa ia menyukaiku tak lebih karena aku gadis yang memang menarik dan cantik.

Diary,
Di sela kencan kami tadi ia merogoh ransel disampingnya, mengeluarkan sesuatu. Seperti kotak dengan tutup yang bening. Ia buka dan mengeluarkan isinya, dan coba tebaklah diary, itu...Jepit rambut! Berwarna perak dengan bentuk kura-kura mungil yang lucu. Dan ia menatapku sambil memainkan jepit rambut itu di jarinya.

Bisa kau bayangkan itu, diariku?
Ia menggapai helai rambut di atas telingaku, menjepitkan benda lucu tadi ke rambutku, begitu lembut, dan aku tak berani menoleh padanya, aku masih malu dan membawa wajahku ke arah berlawanan darinya. Aku menahan senyumku yang rasanya begitu kuat ingin keluar. Aku senang sekali! Bahagianya.

Kau ingin tau tentang Randa?
Laki-laki ini tak berubah sejak dulu, ia romantis, perhatian, dan penuh kejutan, pula sikapnya yang menyihirku. Entah belasan tahun berlalu saat aku mengenalnya pertama kali ketika duduk di bangku sekolah dasar. Dia adalah kakak kelasku yang ceroboh menendang bola sewaktu bermain bola dengan teman-temannya, dan mengenaiku hingga menangis. Ia minta maaf dan ternyata orang tua kami saling kenal. Sejak itulah kami mulai akrab, bahkan masuk sekolah menengah yang sama, dan kini kami kuliah di tempat yang sama, hanya saja fakultas kami berbeda. Kami sama-sama tahu perasaan kami, hanya saja, ia tak pernah menyatakannya padaku. Sedangkan aku, menunggu saja. Entah mengapa, yang jelas jangan menyuruhku yang menyatakannya, aku tak bisa.

Satu hal, aku senang sekali!

****


****
Jumat, 22 maret

Diary, malam ini dingin sekali... tapi aku masih ingin menulis untuk bercerita denganmu....
Setelah makan siang indah kemarin, aku bersiap untuk menghadapi momen indah sebentar lagi. Hari ini aku seharian bersama Anita.

Anita, sahabat terbaikku sejak masuk SMA, tong sampah untuk semua keluhanku, tempat aku bercerita, dan belanja bareng. Ia begitu baik dan setia sebagai sahabat. Bahkan untuk masalah dirinya sendiri, ia jarang sekali bercerita padaku, sepertinya dia benar-benar suka membantu. Ia cukup cantik dan berbeda denganku, ia suka gonta-ganti pacar, dan cerdas tentunya. Ia juga pendengar yang baik, tak heran aku begitu nyaman untuk menyebutnya sahabat. Ia juga mengerti tentang perasaanku pada Randa, bahkan ia juga tempat curhat seorang Randa, tak heran aku tahu banyak dengan Randa, toh Anita begitu baik membocorkan hal tentang Randa padaku, hahaha..

Tenanglah diary, kau juga sahabatku....untuk apa aku mencoretimu jika bukan sahabatku...hehe...

Dan kami berbelanja di suatu mall, lalu melanjutkannya ke supermarket. Kami ingin membeli kebutuhan untuk persiapan kemping. Ya, kau tahu? aku akan menginap di villa selama 3 malam bersama teman-temanku untuk mengisi libur, Anita tentunya, dan Randa adalah salah satu yang ikut. Nampaknya akan menjadi acara yang menyenangkan. Banyak bayangan acara menginap itu berseliweran dipikiranku. Ah.....

****

Masih tanpa ekspresi apapun, laki-laki itu melanjutkan membaca diary tersebut, nampaknya ia tertarik dengan isinya. Meski ia tahu, seharusnya ia tidak melakukan itu. Ia membuka halaman demi halamannya kembali.

****

Sabtu, 23 maret

Hai diary, 
Aku menyapamu lagi malam ini, aku semakin nyaman denganmu. Masih banyak lembar kosongmu untuk kutulisi. Kau adalah diariku yang kedua, aku memang suka menulis sejak dulu, dan kakakmu, diariku yang sebelumnya sudah penuh terisi. Tepat sekali ketika masa-masa sekolahku habis, hebat bukan?

Diary, besok acara menginap itu dilakukan. Aku sudah menyiapkan barang-barangku, aku tinggal berangkat esok. Aku tak bisa bayangkan bagaimana hariku dengan Randa besok. Ah...Randa, bagaimana dengan dia sekarang? Apa dia juga tak setenang aku sekarang ini? Jangan tertawa ya diary...hahaha...

Oh iya! Kau akan kuajak, sebab aku takut kita sama-sama kesepian. Tak ada libur untukmu, diariku...
****


****

Senin, 25 maret

Pukul 3 dinihari, larut sekali aku menyapamu diary. Tapi malamku kurang tanpamu, aku benar-benar ingin bercerita banyak tentang hari ini. Anita sudah tertidur pulas di sampingku, dan sekarang aku bercerita padamu.

Randa menjemputku pagi ini, ia selalu mempesonaku. Dan aku tentu telah membuat diriku juga mempesona untuknya. Di dalam mobilnya sudah ada Anita, Vivin, Andre, dan Hendri. Mereka begitu ceria pagi ini, begitupun aku.

Perjalanan menuju villa di dekat perkebunan teh selama 2 jam terasa sangat melelahkan untukku. Bagaimana tidak? Semangat teman-teman untuk bersenang-senang berjalan selama 15 menit awal perjalanan, mereka bernyanyi-nyanyi, berguyon, tertawa-tawa, dan membuat suasana begitu gila. Setelah itu mereka kelelahan, mengantuk, dan tidurlah di sepanjang jalan. Tapi hal yang kusuka, semoga kau tidak bosan dan geli dengan hal ini, diary. Tersisalah aku dan Randa yang masih melek!

Dia tentu harus begitu sebab ia yang menyetir mobil. Dan aku duduk di sebelahnya di kursi depan. Kami mengobrol sepanjang jalan dan seperti biasa, kami bercanda dan saling rayu sebagaimana sering kulakukan. Bagaimanapun itu, bagiku hal ini selalu istimewa untukku! Aku senang! S-E-N-A-N-G! 

Andai kau punya pipi sudah kucubit dirimu, diary. Tapi tak lama seperti itu, akupun akhirnya kalah dengan lelah. Akhirnya aku terpulas juga.

......

Semua bersemangat kembali ketika kami sampai di villa. Aku terbahak-bahak melihat Hendri yang menggeliat berburu turun dari mobil untuk buang air. Dia yang lebih dulu mencoba membuka pintu villa yang masih terkunci dan Randa yang memegang kuncinya. Sialnya Randa lupa ia menyimpan kuncinya dimana, hingga sibuklah kami mencari kuncinya di tas milik Randa. Bagaimana dengan Hendri?

Dia ternyata sangat sangat tidak tahan dan langsung berlari menuju kebun teh yang tak jauh dari seberang villa untuk mencari tempat buang air kecilnya. Jalan menuju kebuh teh yang menurun dan penuh gundukan membuat Hendri yang tidak berhati-hati terpeleset, terguling ke rimbunan daun teh, dan tak sempat membuang air kecilnya secara “ wajar “. Hahaha...benar, diary. Hendri pipis dicelana setelah tidak kuat menahan “desakan” tubuhnya. Dia begitu malu, lagipula jorok sekali, pipis di celana! Hahaha.....tapi aku tak berhenti tertawa hingga sakit perut. Tak masalah, toh problem Hendri tuntas sudah....hahahaa! ( Aku masih tertawa membayangkannya).

****

Lelaki yang membaca diary ini tersenyum kecil, nampaknya ia juga geli dengan cerita dalam diary tersebut. Tak ingin berlama-lama, ia melanjutkan membaca.

****

Diary,
Villa yang kami datangi ini tak asing untukku. Vila ini milik orang tua Randa, dan sewaktu kecil aku sering di ajak orang tuaku bermain-main ke sini. Dan yang kusuka di sini adalah ketika sore hari sebelum kabut yang dingin turun di kebun teh. Biasanya bersama Randa atau sendirian saja aku ke tengah kebun teh ada sebuah tempat kosong yang ditumbuhi rumput yang lembut dan sebuah pohon di sana. Biasanya aku ke sana membaca buku bersandar di pohonnya.

Dan aku tersenyum lebar ketika Randa mengajakku ke sana. Membawa beberapa soft drink dan cemilan untuk dimakan bersama, berdua lagi. Dan pergilah kami ke sana. ia memberi kejutan lagi! sebuah puisi! Puisi untukku!

Kusalin saja padamu ya, diary....??

==
KEBUN TEH

Di tengah kebun teh
Ku membisik kata
Mengalun bersama angin
Semilir hijaunya daun
Aroma hangat sebelum diseduh

Sejuk membelai rambutmu
Kala kabut hendak mengepul
Kau bersimpuh memeluk lutut
Berkalung syal halus

Tak lama,
Hatimu berpulas
Di pundakku
Bersama lalu lalang pemetik teh yang ramah menyapa kita
==


Aku akan menyimpannya, selalu, dan selalu. 

Diary, malam ini kami membuat api unggun di belakang halaman villa, membakar jagung, ayam, dan Hendri yang konyol ikut membakar jamur yang temukan di hutan sekitar kebun teh. Dan konyolnya lagi ia memakannya, sejak itu ia terbaring lemah karena perutnya kesakitan dan mual-mual. Hahaha...keracunan, untungnya tidak terlalu membahayakan sepertinya...hahahaha!!

Ah diary, sudah dulu...aku mengantuk.

****

****
Selasa, 26 maret

Diary!!! Tolong aku!!!
Tolong aku!!!!

Sebenarnya apa yang terjadi??? Liburan yang seharunya menyenangkan ini berbalik meremukkan hatiku! Kau tahu kenapa??

Aku pergi ke minimarket yang tak jauh dari lokasi villa, membeli sedikit cemilan untuk kami. Dan kau tahu apa yang kulihat setelah tiba di villa? RANDA MEMELUK ANITA ! Aku tak tahu harus apa. Marah-marah? Apa hak-ku? Randa bukanlah milikku...

Tapi tega sekali Anita mengkhianatiku! Sebagai sahabat yang tahu aku menyukai Randa. Ketahuilah diary, mereka bukan hanya berpelukan, tetapi mereka benar-benar mesra saat itu. Dan aku langsung ke kamar, mengcunci pintu, dan menangis sejadi-jadinya. Saat itulah aku menemukan secarik kertas yang menyembul dari tas milik Anita, kau ingin tahu isinya? Kutulis untukmu, diary.

==
TENTANG (W)ANITA YANG KUCINTA

Bukan tentang bidadari yang kupuja
Atau cleopatra yang memikat jiwa
Adalah mahkluk pengeruk pesona
Kau, (w)anita yang kucinta
Nafasmu adalah embun di pagi buta
Yang memekar kelopakkelopak bunga

Dariku : Randa
==


Aku benar-benar sakit, diary. Dan tadi Anita sempat menanyakan mengapa mataku bengkak, aku katakan saja tidak ada apa-apa. Diary, aku harus bagaimana???

Tak kuragukan lagi Randa telah bersama Anita, dan apa sebenarnya maksud perhatiannya padaku selama ini?? Palsu! Palsu! Bertahun aku seperti orang bodoh menantinya. Bodoh! Bodoh!

Diary,
Aku mau mati... ini bukan hal yang aku sanggupi. Di balik jendela aku juga melihat kecup mesra Randa menempel di kening Anita. Itukah sahabat? Diary, jangan seperti perempuan...(aku tak sanggup berkata kasar untuknya) itu. Jangan pernah khianati aku.
Diary,
Kertasmu masih banyak lembar yang kosong, namun terima kasih. Aku cukupkan saja hariku, dan kau tentu tidak mau kertasmu basah selalu oleh air mataku. 

Ini malam terakhir untuk kami menginap di sini, menyisakan pilu untukku. Seharusnya aku tahu, terlalu lama aku mengharap Randa, perasaannya pun memudar, ia juga belang sialan yang pengecut dan tak memulai hati. Dan dengan mudahnya berpindah pada Anita? Aku menangis saja, tak ada yang tahu aku menangis, pula sepasang gagak yang saling cumbu itu. KETERLALUAN!!!

Berakhir.
****

Lelaki itu menghentikan bacaannya, selanjutnya yang ada hanya lembar-lembar kosong yang ia temui. Evi benar-benar tidak melanjutkan lagi tulisannya. Lelaki itu kemudian menitikkan air matanya, prihatin. Ia menoleh pada gadis yang tengah terlelap di dalam tendanya.


“ Sekarang, maukah kamu mengembalikan diariku? ” Ucap seorang gadis di dalam tenda mengejutkan laki-laki itu.

“ Kamu sudah bangun? “ Lelaki itu terkejut.

Ya, gadis di tenda itu adalah Evi, dan lelaki yang membaca diarinya itu adalah Tio, seorang yang tengah berkemah di hutan sekitar kebun teh bersama beberapa temannya. Ia menemukan Evi di hutan dalam keadaan leher tergantung, tubuhnya membiru, gadis manis itu begitu berantakan, penampilan, pula pikirannya. Nampaknya Tio mengerti sudah, penyebabnya. Tio masih belum terlambat, Evi masih bisa ia selamatkan, meski sudah dalam keadaan pingsan dan hampir meninggal. Sementara rumah sakit jaraknya cukup jauh. Maka dibawalah Evi ke tendanya. Saat itulah Tio melihat diary di tas kecil yang dibawa Evi. Dan kini Evi telah sadar. Setelah sebelumnya mencoba mati.

“ Kenapa kamu tolong aku? “ Evi kembali bertanya.

Suaranya parau, masih terasa sesak di pernafasannya, pula hatinya. Masih beruntung ia tidak terlambat diselamatkan. Efek gantung dirinya tak terlalu parah. Tio dengan sigap memberi pertolongan.

“ Kamu baca diariku kan? Kamu tahu yang terjadi kan? “ Evi tak sanggup menahan air matanya, pun tumpah.

Tio mendekati Evi, menyelimui bagian belakang tubuh Evi yang tengah tersedu. Nampaknya lelaki ini akan menadi tokoh baru dalam hidup Evi yang begitu menyesakkan. Tio merangkul pundak Evi. Evi tak bergeming dengan lengan penyelamatnya yang masih asing untuknya.

“ Namamu Evi, bukan? Evi, seorang pecinta sejati tak akan memilih mati saat disakiti. Ia juga takkan membenci saat ia dikhianati. Pula takkan garang saat untuk cinta ia menjadi pecundang. Tapi ia juga tak sudi memberi kasih sayang saat itu, ia hanya diam, lalu bertindak untuk mengelak nasib. Bagaimana ia terus ada untuk membuat orang yang mengecewakannya membenci diri mereka sendiri.

Kau tahu bagaimana Randa adalah seorang yang tolol? Matikanlah hatimu untuknya, sebab ia sudah memutilasi harapan-harapanmu. Jangan jadikan cinta yang begitu lama hadir menjadi alasanmu untuk mematok hati dalam-dalam padanya. Pula sahabatmu Anita yang sebenarnya menjadikanmu boneka? Sebagai alasan untuk bisa bersama Randa. Jangan sebut sahabat, sahabat itu tulus.

Sesungguhnya yang kau rasakan itu cinta yang berlumut! Dimana sewaktu-waktu kau akan terpeleset karena begitu licin dan jatuh dengan sakit yang luar biasa. Atau cinta yang berdebu! Mengotori pernafasan hatimu saja. “

Suara lembut Tio menyingkap pesan tulusnya pada Evi, dia benar-benar simpatik padanya. Malang sekali gadis itu untuknya.

Evi hanya bisa diam, ia menatap wajah Tio dengan berkaca-kaca, ia memeluk Tio, menangis sejadi-jadinya. Ia benar-benar tertekan, begitu tertekan. Lelaki itu nampaknya memberi ucap yang menohoknya. Tio diam, membiarkan Evi puas menangis, tak lama, ia tertidur.

..........

Waktu yang berlalu, memotret proses hidup di dalamnya. Bersama diary yang penuh tetesan air mata, mulai mengering dan berdebu.

Diary itu tergeletak di atas meja disamping jendela, lembar-lembarnya terbuka oleh angin, di lembar akhir dari diary itu, tertulis sebuah cerita, ungkapan gadis yang pernah menderita. Menulis dalam kata :

****

Sabtu, 14 februari

Dear diary, begitu lama sudah aku tak menyapamu. Aku sudah berjanji tak lagi menulisimu, tapi aku juga tak tega menutup tugasmu dengan pilu. Aku tak lagi mempermasalahkan Randa dan Anita, sejak saat itu aku mencoba bersikap wajar dan akhirnya mereka mengakuinya. Aku tidak terkejut, dan aku bersiap cuek saja. Aku akan mengoretkan senyum untukmu, kejadian dahulu membuatku lebih dewasa. Dan kuselipkan saja untukmu hadiah karena menemaniku.

Terima kasih.
Salamku untuk diariku, Evi


****

Tertempel di bawah tulisan tersebut, sebuah foto kecil, dengan gambar seorang laki-laki dan perempuan yang tengah bergandeng dan tersenyum, dibawah foto itu tertulis:

February, 14th
Happy wedding: 
TIO - EVI

Diary itu kembali tertutup oleh angin, tertutup dengan senyum. Sesuatu yang tiada duga.



READ MORE - DIARY - LIKUMU, EVI